Sukses

Halima Aden dan Perjuangannya Kembali ke Kamp Pengungsian

Sebagai duta UNICEF, Halima Aden sempat kembali ke kamp pengungsian di negara asalnya, Somalia.

Liputan6.com, Jakarta - Adalah Halima Aden, model berhijab pertama yang kariernya begitu cemerlang, tak hanya di Amerika Serikat, namun dunia. Sebagai model kenamaan, Halima menuturkan, dirinya jarang sekali berada di rumah.

"Hanya Amerika Tengah dan Antartika yang belum pernah saya sambangi," katanya di salah satu sesi conference Jakarta Halal Things 2019 di Jakarta, Sabtu, 7 Desember 2019, saat menjelaskan seberapa sibuk jadwalnya sebagai supermodel.

Kendati sudah melanglang buana dan merasakan lusinan runway fashion show, Halima Aden sebagai Duta UNICEF malah berkeinginan kembali ke akar, pulang ke kamp pengungsian di Somalia yang pernah jadi tempat bernaung selama tujuh tahun sebelum bersama keluarganya pindah ke Amerika Serikat.

"Tidak banyak anak yang besar di kamp pengungsian dan mau kembali ke sana setelah mendapat suaka. Tapi, saya mau melakukan itu karena saya harap ada seseorang yang berbuat demikian saat saya masih tinggal di sana (kamp pengungsian)," ucapnya.

Hal yang dimaksud sempat jadi mimpinya adalah orang datang untuk memberi semangat, orang datang untuk menembarkan mimpi supaya anak-anak kamp pengungsian tetap berupaya demi mewujudkannya.

"Perjalanan ini saya sebut kembali ke akar dan itulah wajah Somalia yang saya kenal sekarang. Saya belum pernah kembali setelah pindah ke Amerika Serikat di usia tujuh tahun," papar Halima Aden.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Hidup di Kamp Pengungsian

"Kami menjalani hidup yang baik dan buruk selama di kamp pengungsian," cerita Halima Aden soal tujuh tahun awal hidupnya. Ketidakcukupan kebutuhan jadi salah satu faktor ratapan saat kecil.

Ia bahkan bercerita sempat tak makan selama tiga hari berturut-turut. "Belum lagi berbicara gigitan kalajengking dan kasus serupa yang terus membuntuti kami para pengungsi selama tinggal di kamp," imbuhnya.

Di sisi lain, segala keterbatasan yang dimiliki membuat Halima merasa jadi bagian dari satu komunitas dengan kecenderungan saling melengkapi, saling menyayangi, dan ada untuk satu sama lain, terutama di saat-saat sulit.

"Saya tidak tahu gambaran masa kecil orang lain, tapi saya bersyukur melewati masa kecil saya sebagaimana telah saya lalui. Semua proses itu, saya pikir, membentuk pribadi saya yang sekarang," ucapnya.