Sukses

Mendobrak Stereotip Penyandang Disabilitas (Bagian 2): Saat Mereka Bicara Cinta

Penyandang disabilitas bicara soal kehidupan asmara dan menangkis niat mengakhiri hidup.

Liputan6.com, Jakarta - Setelah berbicara soal bagaimana bisa jadi disabilitas, memilih kondisi dalam hidup, sampai bagaimana maunya diperlakukan, baik oleh non-disabilitas maupun disabilitas, di artikel bagian pertama, stereotip yang bakal 'didobrak' kali ini akan lebih beragam.

Pertama, soal percintaan. Anggapannya, penyandang disabilitas hanya akan terlibat asmara dengan sesama disabilitas. Padahal, keempat panelis yang dihadirkan dalam seminar Big Ideas, Ask Me Anyting: Para Pegiat Disabilitas Menjawab Pertanyaan Besar malah bernasib sebaliknya.

"Masalah yang dihadapi itu sebenarnya, kalau aku pribadi, lebih ke keluarga pasangan. Yang dulu bilangnya sayang, tapi mamanya tidak suka. Masalahnya mirip dengan non-disabilitas. Suamiku sendiri bukan disabilitas," kata Angkie.

Sementara, Ananda yang baru didagnosa mengidap sindrom asperger setelah menikah mengaku, sebenarnya ada rasa minder saat mendekati perempuan. Pasal, ia tak bisa melakukan beberapa hal yang dianggap biasa, seperti menyetir mobil.

"Istri saya non-disabilitas. Karena saya banyak kurangnya, waktu mau dekati ya tinggal main piano saja. Jadi, fokus pada kelebihan," ucapnya disambut gelak tawa dari peserta seminar.

Cak Fu, yang istrinya juga bukan disabilitas menambahkan, kekurangan diri itu sebenarnya bisa berfungsi sebagai validasi rasa cinta. "Yang pada akhirnya adalah bagaimana bisa saling melengkapi," ucapnya.

"Saya tidak bisa bicara panjang urusan asmara. Tapi, saya pribadi belum pernah berkencan dengan sesama disabilitas," sambung Vanessa.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Wejangan tentang Mengakhiri Hidup

Nasihat bagi penyandang disabilitas yang berniat mengakhiri hidup jadi pertanyaan selanjutnya. "Saya yang punya masa kecil tidak seperti kedua adik saya pernah punya pikiran ini (mengakhiri hidup)," tutur Cak Fu.

Bayangan itu menghantui untuk beberapa saat sampai Cak Fu menerapkan terapi kognitif. Setiap pagi, Cak Fu akan menuliskan pikiran negatif dan positif yang dimiliki. "Setelah sebulan, ternyata malah lebih banyak yang positif," ucapnya.

Setelahnya, Cak Fu mengatakan lebih fokus pada menindaklanjuti ragam hal positif dan memaksimalkan kemampuan di ranah-ranah tersebut.

Sementara, niat serupa yang juga sempat dipikirkan Angkie berhasil ditangkis dengan pendekatan spiritual. "Sama tinggal bagaimana menciptakan lingkungan sekitar yang mendukung," imbuhnya.

Ananda menjelaskan, pengidap sindrom asperger sendiri sangat rentan depresi berujung pada keinginan bunuh diri. "Saya sendiri pernah mau bunuh diri di usia 20-an. Waktu itu mau menabrakkan diri ke kereta. Tapi, pas mau lakuin saya mikir, semisal tidak meninggal malah makin menderita," ucapnya. 

Lantaran, faktor penyebabnya bisa sangat kompleks bagi sindrom asperger, Ananda membuka komunikasi dengan siapapun yang ingin berbicara lebih lanjut soal depresi dan niat bunuh diri.

Di akhir seminar, Wakil Dubes Australia untuk Indonesia Allaster Cox mengatakan, semua jawaban yang diberikan panelis jadi bukti bahwa penyandang disabilitas sebenarnya punya kemampuan lain untuk diberdayakan.

"Seharusnya tidak ada hambatan dalam berkegiatan dan berpartisipasi dalam berbagai sektor, termasuk ekonomi dan sosial. Dalam mewujudkannya jadi sangat penting untuk menghapuskan stereotip penyandang disabilitas," tandasnya.