Liputan6.com, Jakarta - Festival seni berbasis teknologi, Wave of Tomorrow 2019 resmi dibuka. Gelaran tahun kedua ini menghadirkan 14 karya seni media baru persembahan 13 kreator dari Indonesia dan internasional.
Dilaksanakan di The Tribrata, Dharmawangsa, Jakarta Selatan, Jumat, 20 Desember 2019, Wave of Tomorrow 2019 mengajak pengunjung menjelajahi instalasi dan perjalanan para kreator yang progresif.
"Masa depan adalah teknologi, dengan demikian menunjukkan dengan teknologi bisa menghargai heritage, culture, dan masa dalam hidup," kata art curator Mona Liem saat pembukaan Wave of Tomorrow, Jumat, 20 Desember 2019.
Advertisement
Baca Juga
Berbeda dari tahun pertama, kali ini pengunjung dapat menikmati karya seni futuristik yang tersebar di tiga lantai. Di ground floor, setelah melewati ticket box, pengunjung akan disambut oleh karya arsitek Rubi Roesli, "Ruang dan Batas / Resonansi 2 / Komposisi String Seri 5".
"Arsitek tidak bisa lepas dari teknologi structure, lighting, instalation art membahas ruang buat bekerja. Biroe punya karya 1, 2, 3 perjalanan string mencoba garis ke dunia nyata. Eksplorasi ruang tanpa harus identitas arsitektur," kata Rubi.
Memasuki area dalam di lantai yang sama, di sisi kiri terdapat "Re-Imagining Tribhuwana" karya Farhanaz Rupaida. Karya ini terinspirasi oleh kisah nyata seorang ratu dari kerajaan Majapahit, Tribhuwana Wijayatunggadewi.
Farhanaz menggunakan teknologi motion tracking interaktif. Karyanya menggambarkan transformasi dan adaptasi dengan menghadirkan masa lalu ke masa kini.
Berlanjut ke "Dissemination" oleh Ricky Janitra. Karya ini menyoroti perilaku manusia terhadap internet dan menggambarkan cara berkomunikasi, beradaptasi dengan perubahan zaman.
Hal tersebut membuat sirkulasi pesan menjadi cepat, berurutan, dan masif. Inspirasi itu diterapkan dalam instalasi yang hadir dengan kotak-kotak yang akan menyala bila disinari flash handphone.
Di sebelahnya, terdapat "Infinite Loop" oleh Uvisual yang terinspirasi dari susunan tata surya dengan elemen audio visual untuk mewakili psikologi energi.
Karya ini menggambarkan perspektif luas soal fungsi manusia di dunia dan mengajak pengunjung lebih adaptif pada perubahan.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Sentuhan Alam, Budaya, hingga Kinetik
Tampil di tahun lalu, kali ini Maika memberi sentuhan berbeda. Mereka membawa karya bertajuk "Arka Niskala" dan penggarapannya dirasa cukup menantang.
"Konsep berbagai unsur culture, nature, attitude. Karya sequel tahun ini "Arka Niskala", sesuatu yg belum terlalu jelas dan sequel circle of live human itu sendiri, human dari lingkungan dia," ungkap perwakilan Maika, Glee.
Tantangan yang dihadir adalah membawa material yang belum pernah digunakan sebelumnya. "Susah banget memproses nature material yang ada di alam jadi karya seni dalam bentuk spasial desain itu sulit dan menantang," tambahnya.
Ada tiga platform yang mereka gunakan dalam karya ini yakni bambu sebagai struktur karya instalasi, kain yang membalut kerangka instalasi, dan di tengah ada cermin dan lampu, karena lampu punya unsur kuat dan cermin menarik.
Karya "Data Gate" dari Ouchhh menghadirkan sebuah kubus besar yang diletakkan di tengah ruangan di ground floor. Karya ini terdiri atas tiga bagian yakni Bentuk, Cahaya, dan Luar Angkasa.
Menariknya, "Data Gate" adalah seni rupa data astronomi pertama di dunia yang menggunakan machine learning untuk mengeksplorasi luar angkasa dan penelitian astronomi lewat data-data Kepler yang dimiliki NASA.
Bersama data tersebut, pengunjung dapat mengamati exoplanet atau planet yang mengorbit di sekitar bintang lain, yang memungkinkan manusia bisa hidup di sana.
Selain itu, ada pula bentuk data memukau dan memberi pengalaman sensori yang dapat menjadi simbol keingintahuan kontemplatif manusia untuk bereksplorasi.
Kemudian ada "The Day We Left Field" oleh Tundra. Karya ini menyerupai lukisan surealis soal padang rumput yang terus bergerak dalam irama, dibalut perubahan efek suara, dan visual dinamis.
Instalasi ini memberi pengalaman yang terinspirasi oleh suasana alam dan tempatnya di dunia modern perkotaan. Pengunjung dapat menduduki bean bag dan melihat ke plafon ruangan yang diberi ilusi padang rumput.
"Rhyme" oleh Sembilan Matahari yang merupakan instalasi kinetik yang dibangun dari sisi mekatronik dan robotik. Lantas, mengapa "Rhyme" menjadi tajuk karya ini?
"Di tahun ini, karya kami berjudul Rhyme atau Rima. Rima seperti sajak, puisi atau lirik lagu. Rhyme kali ini kita membangun artificial environment yang mengadopsi dari lingkungan di sekitar," kata Adi Panuntun beberapa waktu lalu.
Hal ini dibangun dari automasi mekatronik yang jadi prinsip dasar robotik yang hadir seperti sesuatu yang visionary. "Ketika pengunjung masuk ke area instalasi kita, Rhyme akan beresonansi atau berima ke audio," tambahnya.
Advertisement
Mercusuar sampai Nonotak
Studio kreatif asal Bandung, Motionbeast hadir dengan karya bertajuk "Mercusuar". Momen ini menjadi kali pertama mereka ikut ambil bagian dalam Wave of Tomorrow.
"Mercusuar menarik karena yang terlibat menyukai mercusuar bahkan sampai punya koleksi. Penasaran ada keterikatan apa sampai banyak orang yang tertarik dan mencoba pelajari," kata perwakilan Motionbeast, Rey.
Ia melanjutkan, mercusuar memiliki peranan penting karena berada di dekat laut untuk memberi sinyal harapan dan rasa tenang kepada nelayan yang melihat lampu yang berarti sudah dekat rumah.
Berlanjut pada karya Jakob Kudsk Steensen yang menghadirkan "Re-Animated", sebuah seni virtual reality mengenai burung yag disebut burung Kaua'i ʻōʻō yang sudah punah. Pengunjung diajak mengeksplorasi komposisi musik dan efek audio lingkungan di Kaua'i ʻōʻō dari dunia virtual.
notanlab membawa dua karya yakni "colo (ur)" yakni instalasi interaktif yang menggabungkan seni mural dan aplikasi berbasis web. Instalasi ini akan menghasilkan hasil analisa emosi dari warna-warni yang digunakan pengunjung untuk mewarnai ilustrasi.
Sedangkam karya kedua dari notanlab adalah "capt(ur)e" yang terinspirasi dari perilaku sosial dalam menggunakan kamera telepon pintar dan bagaimana perilaku itu menangkap momen.
Ada pula dari Nonotak yang membawa karya "Leap V.3" sebuah instalasi tata cahaya dan suara yang spesifik untuk tempat-tempat tertentu, kolaborasi Noemi Schipfer dan Takami Nakamoto. Instalasi ini adalah susunan permukaan yang mengambang yang berinteraksi dengan elemen arsitektur bangunan The Tribata.
Serta, "The Simulation of Harmony" oleh Kinara X Modulight. Karya ini bicara soal eksistensi dan bagaimana satu hal kecil dapat memberi dampak tak terduga bagi manusia lainnya.
Sementara, Wave of Tomorrow 2019 digelar mulai 20--29 Desember 2019. Ada pula kehadiran pertunjukan musik dari para musisi yang populer hingga emerging artist seperti Kunto Aji, Eva Celia, Danilla, Sal Priadi, Haai, Mantra Vutura, dan masih banyak lagi. Harga tiket masuk Rp100 ribu per hari.