Liputan6.com, Jakarta - Terhitung 15 tahun sudah gelombang tsunami memporak-porandakan Aceh. Meski bencana ini terjadi pada 2004 lalu, kepedihan masih membekas hingga kini. Tak sedikit anak yang menderita secara mental maupun psikologis atas bencana yang merenggut keluarga mereka.
Mengenang kembali momen pilu itu, lima pelari Indonesia, yaitu Gatot Sudariyono, Beny Syaaf, Nicky+ Hogan, Carla Felany dan Vonny Anggraini, pada September lalu berlari sejauh 250 kilometer dari Meulaboh, Aceh Barat, sampai Banda Aceh.
Advertisement
Baca Juga
Aksi ekstrem ini memiliki tujuan mulia yaitu menggalang dana untuk anak-anak di Aceh, bersama SOS Children's Village, sebuah organisasi kepedulian terhadap anak, terutama anak-anak yang berisiko kehilangan pengasuhan atau sudah kehilangan pengasuhan.
Salah seorang pelari, Carla mengaku maraton ini merupakan hal yang sangat menantang karena umumnya jarak untuk lari maraton hanya sekitar 120 kilometer. "Ini bukan cuma soal fisik ya, pas hari ke tiga tuh rasa capeknya kayak menempa mental juga," kata Carla pada video yang diputarkan di Galeri Indonesia Kaya, Jakarta Pusat, Kamis, 26 Desember 2019.
Panas terik dan hujan mereka tetap lalui saat berlari. Mencicil jarak 60 kilometer di hari pertama, 60 kilometer di hari kedua, 70Â kilometer di hari ketiga dan 60 kilometer di hari terakhir.
Dalam waktu empat hari, mereka berlima sampai ke garis finish. Para pelari disambut oleh air mata suka cita dan sambutan meriah anak-anak yang sudah menanti.
Simak Video Pilihan di Bawah Ini:
Anak-Anak Aceh Telah Bangkit
Perubahan besar terjadi dalam kurun waktu 15 tahun ini. Deputy Nation Director SOS Childrens Patria Banteng mengungkapkan keprihatinannya saat mendarat di Aceh pascabencana pada 2004. Ia menggambarkan kondisi mental break down orang-orang, baik anak-anak maupun orang dewasa yang terlihat putus asa.
"Saya lihat orangtua melakukan kekerasan fisik ke anaknya, ya namanya anak, dia lapar dan haus, sedangkan saat itu sulit untuk mendapatkannya, rumah mereka hancur dan orangtua juga pasti bingung anaknya rewel, ya sudah jadi timbullah kekerasan," ujar Patria.
Namun kini, Aceh sudah berbenah. SOS Children's Village membantu membangun kembali Aceh. Organisasi yang berdiri sejak 1972 itu juga membuat program untuk anak-anak Aceh yang saat itu kehilangan keluarganya dan membantu mereka mendapatkan kembali hak pengasuhan.
SOS Children's Village telah membantu sekitar 120 anak-anak korban bencana tsunami. Mereka tinggal di 15 rumah bersama ibu asuh di masing-masing rumah. Ibu asuh tersebut juga termasuk korban bencana yang selamat dan sukarela untuk mengurus anak-anak seperti dalam keluarga pada umumnya.
Pendidikan juga menjadi sorotan organisasi ini. SOS Children's Village mendirikan tiga buah sekolah dan turut mendukung anak-anak dengan potensi yang mereka miliki, seperti bela diri taekwondo, wall climbing, menari, dan masih banyak lagi.
Village Director Banda Aceh 2009-2016 Anna Joestiana menambahkan, bukan hal mudah untuk membuat semangat anak-anak korban tsunami ini pulih setelah tsunami terjadi. Kesabaran menjadi kunci utama untuk menuntun anak-anak mendapatkan kembali rasa percaya dirinya.
"Yang pertama pasti harus sabar, lalu sering diajak ngobrol dan beri sedikit sentuhan fisik, seperti dirangkul," ujar Anna, Kamis, 26 Desember 2019. (Adhita Diansyavira)
Advertisement