Sukses

Pentingnya Melepas Surat Ijo Bagi Warga Surabaya

Hingga kini masyarakat Surabaya memberi nama kepada tanah HPL itu sebagai tanah sertifikat hijau atau surat ijo.

Liputan6.com, Jakarta - Kota Surabaya masih belum bisa keluar dari permasalahan Surat Ijo. Sampai saat ini diskusi penolakan warga Kota Pahlawan membayar sewa atau retribusi surat ijo kepada Pemerintah Kota masih marak.

Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Sutjipto Joe Angga mengatakan, masalah surat ijo niscaya bisa diselesaikan jika ada niat yang kuat dari Pemkot Surabaya.

"Yang penting Pemkot punya niat yang kuat dulu untuk melepas tanah surat ijo, nah kalau niat itu sudah ada, pasti ikhtiarnya bisa lebih mudah. Tidak rumit kok selesaikan urusan surat ijo ini," ujarnya.

"Memang, tanah dengan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) di Surabaya ini punya situasi yang unik. Tanah dengan status HPL ini kan biasa disebut orang sebagai tanah surat ijo. Padahal dalam Undang-undang Agraria sebutan HPL, apalagi 'tanah surat ijo' tak termasuk dalam UU Agraria itu. UU Agraria hanya mengenal tanah Hak Milik, HGB, dan HGU," Angga memambahkan.

Seperti diketahui, tanah HPL adalah tanah yang disewakan Pemkot kepada warga kota tertentu. Sebagai bukti HPL, warga yang menyewa tanah HPL itu diberi surat keterangan yang bersampul berwarna hijau. Hingga kini masyarakat Surabaya memberi nama kepada tanah HPL itu sebagai tanah “sertifikat hijau” atau surat ijo.

"Jadi, secara historis di atas lahan yang bersertifikat hijau itu, awalnya di zaman Belanda banyak dibangun rumah untuk karyawan. Berdasarkan peta tanah yang ada, kalau tanah itu pemiliknya tidak jelas, serta-merta Pemkot Surabaya melalui Dinas Tanah menyatakan tanah itu sebagai tanah HPL," terang Angga.

"Tanah HPL ini terpencar di banyak kelurahan. Ada 46.811 orang warga Surabaya yang memegang surat ijo. Tanah surat ijo itu luasnya sekitar 1.200 hektar, nyebar di 23 kecamatan. Tanah surat ijo itu terdiri dari 46 ribu persil yang dihuni sekitar 400 ribu jiwa. Mereka butuh kejelasan dan keadilan. Pemkot sebaiknya melepas surat ijo itu kepada masyarakat yang berhak memilikinya," lanjutnya.

Angga mengaku, kalau tanah surat ijo nanti berubah status menjadi HGB dan SHM, tak dipungkiri pemasukan Pemkot Surabaya akan berkurang. Untuk itu ia mengaku telah menyiapkan solusinya.

Mengantisipasi agar tidak ada kesan tanah surat ijo menjadi tanah hibah kepada warga, yang berpotensi menimbulkan kecemburuan sosial, maka Angga mengusulkan pengalihan status tanah surat ijo ke HGB atau ke SHM ditetapkan pembiayaan yang bisa saling diterima baik oleh warga maupun Pemkot.

Keadilan Sosial: Bebaskan Surat Ijo

"Saya yakin dan menjamin bisa selesaikan urusan tanah surat ijo di Surabaya. Saya sudah bicara tentang ini secara terbuka kepada warga, praktisi hukum, komunitas yang berkepentingan, media, hingga anggota DPRD," ujar Angga.

Alumus West London College, Inggris itu mengaku yakin bisa selesaikan surat ijo bukan tanpa alasan.

"Pengetahuan dan pengalaman saya setelah berdiskusi dengan stakeholder terkait, serta ketegasan, keberanian serta keikhlasan saya menghadapi risiko demi menolong masyarakat yang sudah menderita puluhan tahun tanpa solusi yang jelas adalah alasan saya yakin dan mau berjuang selesaikan urusan surat ijo di Surabaya," terangnya.

Ia mentargetkan dalam waktu yang relatif tidak lama dirinya sanggup menyelesaikan masalah surat ijo, jika mendapat amanah memimpin kota Surabaya.

"Demi keadilan sosial, surat ijo wajib diselesaikan. Jika Pemkot Surabaya serius ingin menerapkan nilai Pancasila dalam praktik pemerintahannya, maka pembebasan surat ijo adalah sebuah keharusan,” tegasnya.

"Kasihan, warga harus membayar pajak bumi dan bangunan (PBB) dan retribusi tanah surat ijo. Saya tidak tega melihat warga harus membayar dua kali untuk satu objek," tutup Angga yang namanya masuk dalam bursa calon Wali Kota Surabaya itu.