Liputan6.com, Jakarta - "Orang lihat saya sebagai penari enak bisa pergi ke mana-mana, keliling dunia. Mereka tak tahu di baliknya ada jam latihan yang dari pagi bisa sampai pagi lagi," kata Nungki Kusumastuti lewat sambungan telepon pada Liputan6.com, Kamis, 9 Januari 2020.
Perkenalan dengan tari di usia lima tahun sebenarnya tak lepas dari dorongan keluarga, terutama orangtua. Ia mengatakan, keduanya ingin anak-anak mereka, termasuk Nungki, menggeluti kesenian sesuai pilihan hati.
Pasalnya, berkesenian dianggap sebagai media efektif untuk membentuk karakter dan menanamkan nilai-nilai luhur. Pilihannya pun jatuh pada menari. Kala tinggal di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Nungki belajar tarian Jawa dengan guru yang sengaja didatangkan ke rumah.
Advertisement
Baca Juga
"Setelah pindah ke Jakarta, orangtua menganjurkan ikut kursus dan saya pilih belajar tari Bali. Setiap hari Minggu, mereka mengantar (untuk latihan menari)," tutur perempuan kelahiran Banda Aceh tersebut.
Seiring waktu, bersamaan dengan banyak kegiatan lain, intensitas mengikuti kursus menari perlahan berkurang saat Nungki duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Selepasnya, takdir kembali mengarahkannya pada panggilan jiwa sejak kecil.
"Saya akhirnya memperdalam tari dan kuliah mengambil jurusan itu,"Â katanya. Sembari menjalani latihan demi latihan dengan makin banyak ragam tari, Nungki melambungkan asa untuk jadi penari terkenal dan keliling dunia karena kegemarannya tersebut.
"Syukur Alhamdulillah mimpi saya ternyata dipeluk erat dan dikabulkan Allah," imbuh perempuan yang juga dikenal sebagai aktris tersebut. Deretan momen tak terlupa pun didapat saat aktif jadi seorang penari.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Perjuangan di Balik Kesuksesan
Lewat menari, Nungki Kusumastuti bercerita mendapat pengalaman tak terlupa saat bisa tampil dan bertemu langsung dengan tamu negara. "Mulai dari Lady Diana, sampai saya pun pernah salaman dengan Hillary Clinton," ujarnya.
Ada sensasi dan kebanggaan berbeda, sambung Nungki, untuk melihat langsung, seraya berinteraksi secara singkat dengan deretan tokoh yang biasanya hanya dilihat di koran maupun televisi. Pengalaman menari di luar negeri juga jadi rentatan memori manis yang masih terus digenggam ingatannya.
Dalam perjalanan berkarya, Nungki menilai ada faktor keberuntungan yang menyertai. "Karena kalau dipikir, penari kan banyak. Bisa saya yang terpilih, saya pikir ada faktor keberuntungan di sana, selain penilaian kemampuan oleh orang lain," tutur bintang film Di Balik Kelambu tersebut.
Semua pengalaman berharga yang diperoleh bukan tanpa perjuangan. Jam latihan panjang dan beberapa di antaranya dilakukan selama berbulan-bulan harus jadi 'harga' yang dibayar lunas.
"Misal, mau berangkat ke luar negeri dan bawa tiga tarian. Latihannya bisa selama satu bulan, seminggu tiga kali selama empat sampai lima jam. Tapi, ada juga yang dilakukan hampir setiap hari selama tiga bulan. Bisa seharian banget, selesai pukul satu pagi," ceritanya.
Nungki menilai, semua proses dalam berkarya harus dikerjakan. "Harus ada afirmasi. Kalau mau begini, ya harus dilakukan," katanya.
Demi melanggengkan keseriusan dalam menari, di tahun 80-an, Nungki sempat harus melepas beberapa pekerjaan tak kalah penting, seperti jadi bintang iklan maupun menahan diri untuk kembali berakting di layar lebar.
"Saat itu saya harus fokus. Karena dari awal cita-ciranya menari, jadi saya kembali ke 'habitat' saya. Tapi, di saat bersamaan, saya juga punya keyakinan saya akan kembali berkarya di dunia film. Terbukti setelah menikah masih dikasih kesempatan untuk berakting," ujarnya.
Advertisement
Menjanjikan Secara Ekonomi?
Berpuluh-puluh tahun mendalami dunia tari, Nungki menganggap bidang ini sebagai bagian dari kehidupan dan ibadahnya. "Karena membawakan karya orang, melestarikan, menularkan, melakukan pekerjaan sepenuh hati, dan dapat membangun sesuatu dari situ menurut saya bagian dari ibadah," katanya.
Panjang perjalanannya berkarya, ternyata masih ada perjuangan yang dipegang Nungki. Menurutnya, peranan tari di Indonesia belum mendapatkan hati yang lebih. "Bukan berarti pemerintah tidak memerhatikan, tapi masih terlalu kecil dibanding manfaat yang diberi tari dalam membangun negara," imbuhnya.
Padahal, kesenian, termasuk tari, menurutnya bisa dikategorikan sebagai identitas negara. "SDM kita menari bukan hanya dengan tubuh, tapi juga emosi dan pikiran," sambung perempuan 61 tahun tersebut.
Dari segi pemenuhan ekonomi, Nungki berpendapat, berangkat dari penari tradisi, tidak sepenuhnya tercukupi. Karenanya, penari disarankan punya keahlian lain, lantaran tari belum masuk ke industri lebih serius.
"Tapi, jangan juga khawatir. Saya sengaja membarengi keahlian menari dengan teori di baliknya. Makanya, walau sudah tak lagi sebegitu aktif menari, saya masih bisa ngajar, bisa bikin festival, bisa seminar di sana-sini karena dunia tari," ucapnya.