Sukses

Hindari Kebakaran, Hujan Buatan di Kalimantan Turun Lebih Awal

Meski sudah lima tahun berlalu, kejadian kebakaran lahan gambut di Kalimantan masih belum selesai penyelidikannya.

Liputan6.com, Jakarta - Kebakaran besar yang terjadi di beberapa wilayah pada 2019 lalu berdampak tak hanya di wilayah sekitar, namun juga perubahan iklim di wilayah lainnya. Diprediksi tahun 2020 ini kemarau akan lebih cepat datang di beberapa wilayah di Indonesia, seperti Kalimantan.

Hal ini membuat hujan buatan akan diturunkan lebih awal. Hal tersebut dijelaskan oleh Kepala Badan Restorasi Gambut, Nazir Foead

"Tahun ini hujan buatan lebih awal. Tidak akan ada hujan beberapa minggu ke depan," ujarnya saat ditemui di Balai Kartini, Jakarta Selatan, 29 Januari 2020.

Menyinggung tentang bencana kebakaran, di Kalimantan juga pernah terjadi kebakaran hebat pada 2015 lalu. Kebakaran di lahan gambut tersebut menyita perhatian karena asap yang ditimbulkan menewaskan puluhan orang yang sebagian besar adalah anak-anak.

Meski sudah  lima tahun berlalu, kejadian kebakaran lahan gambut di Kalimantan tersebut menurut Koornas Pantau Gambut, Ola Abbas mengungkapkan akar penyebab dari kebakaran tersebut masih belum selesai.

"Ada awal akar masalah kebakaran yang belum terbereskan. Pencegahan jangan jadi jargon belaka," kata Ola Abbas, dalam kesempatan yang sama.

Pendapat yang sering diutarakan masyarakat sekitar terkait kebakaran adalah api berasal dari gesekan daun-daun dan hujan yang tak kunjung turun dalam jangka waktu cukup lama.

Simak Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Kondisi di Kalimantan

Kebakaran hutan yang terjadi di Kalimantan tak bisa dipungkiri merupakan ulah manusia. Hal ini dibenarkan oleh Theti Numan Agau, warga desa Mantangai Hilir, Kalimantan Tengah yang juga menjadi korban kebakaran yang terjadi di Kalimantan pada 2015 lalu.

Theti mengungkapkan tentang kebiasaan membakar lahan sebelum menanam. Selain budaya turun-temurun dari nenek moyang, pembakaran lahan juga dipercaya agar padi yang ditanam bisa subur karena abu dari sisa pembakaran.

Kebiasaan yang sudah mendarah daging ini akhirnya diberhentikan setelah kebakaran hebat pada 2015. Terlebih lagi pemerintah mengeluarkan peraturan yang mengatur denda dan sanksi lainnya bagi pihak yang  terbukti sengaja membakar lahan. (Adhita Diansyavira)