Liputan6.com, Jakarta - Sementara sebagian orang dengan mati-matian mempertahankan hubungan cinta, ada pula yang dengan ringan hati meminta putus pada pasangan. Sebabnya bisa bermacam-macam, tak terkecuali rentetan hal yang dianggap remeh orang kebanyakan.
Melansir laman Phillymag, 10 Februari 2020, berdasarkan jurnal yang pertama kali dipublikasi pada 2007, orang-orang mudah minta putus bisa saja mengidap Sudden Revulsion Syndrome (SRS) alias Sindrom Mendadak Jijik.
Kendati masih jadi perdebatan, disebutkan bahwa sindrom berujung minta putus ini biasanya dipicu aroma, maupun ragam hal tampak tak spesifik, seperti kelakuan biasanya tak jadi masalah maupun perubahan karakteristik fisik yang membuat pasangan tiba-tiba tak menarik.
Advertisement
Baca Juga
Fenomena ini sementara banyak didapati setelah masa awal pacaran yang serba indah selesai. Begitu efek dopamin pasangan baru hilang, 'cacat' yang awalnya dianggap lucu tiba-tiba jadi masalah menyesakkan.
Vice menuliskan, konsultan kencan Julie Spira mengatakan, apabila merasa risih akibat karakteristik yang tak diinginkan dari partner, tandanya standar Anda kelewat tinggi.
"Ketika klien saya mengatakan mereka tidak suka gaya rambut seseorang, atau soal tato pasangan, saya selalu bilang tidak usah dipusingkan. Kita tinggal di dalam masyarakat yang semakin perfeksionis, terutama ketika menyangkut pasangan," katanya.
"Pilih-pilih memang boleh, tapi banyak orang lajang di luar sana yang saking pilih-pilihnya. Mereka tidak akan ragu putus dengan pasangannya hanya karena mengenakan sandal dan kaus kaki secara bersamaan," sambungnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Jangan Self-Diagnose
Kendati punya kecenderungan hilang feeling karena hal-hal 'sepele', bukan berarti Anda mengidap SRS. Pasalnya, dalam beberapa kasus, pemicu ini merupakan tanda yang secara tak sadar diberikan diri sendiri sebelum masalah lebih besar menghampiri.
Rasa sayang yang tiba-tiba merosot boleh jadi cara diri membentengi diri dari sakit lebih parah. Karenanya, bantuan profesional dalam mengidentifikasi sindrom ini tetap diperlukan.
Ditambah, sidnrom ini masih menimbulkan banyak hipotesa dan perdebatan, mulai dari pemicu hingga keputusan akhirnya mengakhiri hubungan.
Advertisement