Sukses

Atasi Dampak Pencemaran Sungai dengan Konsep Green Company dalam Produksi Fesyen

Green company merupakan keharusan bagi perusahaan dalam skala apapun saat ini.

Liputan6.com, Jakarta - Banyaknya pelaku usaha khususnya UMKM yang tidak menaruh perhatian terhadap proses produksi memberikan dampak negatif terhadap lingkungan sekitarnya.

Pencemaran sungai oleh limbah cair merupakan salah satu contoh ketidakpedulian pelaku industri terhadap pelestarian alam. Di Jawa Barat misalnya, sungai Cilamaya, Cileungsi dan Citarum merupakan objek yang telah tercemari oleh limbah domestik dan limbah industri oleh pelaku usaha baik skala korporasi maupun menengah.

Selain merusak lingkungan, pelaku usaha juga dinilai telah melanggar hukum dan dianggap telah melakukan tindakan pidana. Menurut salah satu pelaku industri fesyen di kota Bandung, Carolina Danella Laksono, sejak awal ia mengusung konsep green company dalam menjalankan usahanya sehingga tidak ada limbah yang dibuang dari hasil produksi pabriknya.

“Setiap hari kami memproduksi ratusan item pakaian. Tentu kalau dilihat dalam kacamata industri, banyak sekali limbah yang kami hasilkan,” tutur pendiri dan CEO Cottonology tersebut pada media.

“Namun karena sejak awal kami berorientasi pada keberlangsungan lingkungan hidup di sekitar pabrik, maka limbah yang kami hasilkan pun bisa didaur ulang sehingga tidak menimbulkan bahaya. Limbah ini merupakan hasil dari celupan benang yang dpintal untuk mendapatkan warna yang sesuai,” sambungnya.

Menurut lulusan University of California, Berkeley, AS ini, green company merupakan keharusan bagi perusahaan dalam skala apapun saat ini.

“Pencemaran yang kami hindari itu ada dua, yaitu saat produksi dan saat produk tersebut digunakan oleh pelanggan kami. Karena kami menggunakan bahan katun organik, maka tidak akan merusak lingkungan baik saat pembuatan maupun perawatan karena tidak membutuhkan bahan kimia,” ujarnya.

Carolina mengatakan, berdasarkan data yang ia peroleh dari The Waste and Resources Action Programme (WRAP), perkembangan industri mode yang begitu cepat mendorong produksi 80 miliar potong kain setiap tahunnya dan tumpukan pakaian senilai Rp2,5 triliun ditemukan di tempat pembuangan sampah.

“Pembuangan bahan tekstil ini jelas dapat melepaskan racun dan emisi metana ke udara. Bahkan serat-serat mikronya bisa masuk ke saluran air. Data tersebut juga memprediksi kalau industri mode nantinya akan menjadi kontributor polusi dua terbesar setelah minyak,” ungkap pengusaha muda lulusan bidang studi ekonomi politik ini.

Carolina pun menegaskan bahwa dalam menjalankan usahanya ia tidak ingin fokus hanya pada pencapaian dari sisi bisnisnya saja, namun juga kontribusi dari sisi sosial dan lingkungan.

“Dari sisi sosial, kami melibatkan banyak sekali penjahit-penjahit lokal di sekitar Bandung. Mereka terdiri dari perajin rumahan, individu atau lepasan. Sedangkan dari sisi lingkungan, kami meminimalisir pencemaran lingkungan zero tolerance sehingga Cottonology menjadi UMKM yang ramah lingkungan,” terangnya.

Cottonology berhasil masuk top selling ranked di platform e-dagang Indonesia seperti Shopee, Lazada, BliBli, Tokopedia dan Zalora. Saat ini produk asli dalam negeri tersebut telah membuka 60 top-up store di 30 kota dan telah menjual lebih dari 400 ribu item pakaian pria di seluruh Indonesia.

“Karena proses produksi kami tangani dari hulu ke hilir, jadi kami bisa memantau dari sisi lingkungannya sehingga benar-benar terjaga dari proses pencemaran. Selain itu, dari sisi bisnis, dampaknya terasa pada harga yang jauh lebih terjangkau sehingga pasar kami masuk ke semua kalangan,” pungkasnya.