Liputan6.com, Jakarta - Satu tahun lalu pada 12 Maret 2020, Presiden Jokowi menghadiri gala dinner ulang tahun ke-50 Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI). Dalam acara tersebut, Jokowi menjawab keluhan PHRI tentang tingginya harga tiket pesawat terbang meski bukan di musim liburan.
Monopoli penjualan avtur diduga jadi biang kerok kenaikan harga tiket pesawat terbang. "Berkaitan dengan harga tiket pesawat, saya terus terang kaget dan malam hari ini saya baru tahu mengenai avtur yang dijual di (bandara) Soekarno-Hatta itu dimonopoli Pertamina," katanya waktu itu.
Sebelumnya, dalam laporan di acara tersebut, Ketua Umum PHRI Haryadi Sukamdani mengatakan, sektor pariwisata sangat terganggu kinerjanya, lantaran kenaikan harga tiket pesawat terbang. Kenaikan tiket pesawat terbang rata-rata mencapai 40 persen itu terjadi karena harga tiket promo dihapuskan.
Advertisement
Baca Juga
"Lalu, ditambah dengan sejumlah maskapai mengenakan kebijakan bagasi berbayar. Jadi, harga tiket maspakai asing justru lebih murah," terangnya.
Kini setahun berlalu, masalah pelik kembali dihadapi PHRI namun dalam situasi yang berbeda. Wabah virus corona yang muncul sejak awal tahun ini dan bermula dari Wuhan, China, sekarang sudah menyebar hampir ke seluruh penjuru dunia hanya dalam waktu kurang dari tiga bulan.
Imbas corona juga sangat terasa di bidang pariwisata, termasuk di Indonesia. Apalagi sejak pemerintah mengumumkan untuk pertama kalinya ada Warna Negara Indonesia (WNI) yang terpapar virus corona atau Covid-19 pada 2 Maret 2020. Bukan hanya wisatawan mancanegara yang semakin berkurang, kini wisatawan lokal pun semakin membatasi perjalanan karena khawatir terkena virus corona.
Dampak virus corona juga memukul industri perhotelan yang berdampak pada anjloknya okupansi di beberapa daerah. Akibatnya, beberapa hotel menawarkan cuti sampai merumahkan pekerja hariannya.
Hal itu diakui oleh Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani. Menurutnya, di Jakarta tingkat okupansi perhotelan hanya mencapai 30 persen. Dampaknya, perhotelan harus menekan biaya operasional termasuk pengeluaran untuk membayar pekerja hotel.
Ia menjelaskan, di industri perhotelan ada tiga kategori jenis karyawan yaitu pekerja harian, kontrak dan tetap. Dengan adanya wabah corona, membuat perhotelan mulai menghentikan penggunaan pekerja harian. Sedangkan untuk pekerja kontrak dan tetap diberikan waktu kerja tapi dilakukan secara bergiliran.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Menghentikan Ekonomi Masyarakat
"Pekerja harian sudah tidak dipakai. Kalau karyawan kontrak dan permanen, masih tetap bekerja tapi sekarang mereka itu masuknya giliran. Sebab perusahaan sedang jaga cash flow. Kalau masuk semua masuk, maka pengeluarannya (biaya tenaga kerja) 100 persen, sekarang perusahaan coba jaga [pengeluaran tenaga kerja di angka 50 persen)," kata Hariyadi, saat ditemui di TVRI, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis, 12 Maret 2020.
Di sisi lain, Hariyadi mengatakan skema insentif berupa penanggungan pajak hotel oleh pemerintah sampai saat ini masih belum dirasakan oleh pengusaha hotel. Ia juga mengatakan, semula pihaknya menargetkan adanya pertumbuhan okupansi sebesar 10 sampai 12 persen pada 2020.
Namun karena wabah corona, target pertumbuhuan okupansi tersebut dikoreksi menjadi hanya sebesar 5 persen. "Itu pun baru bisa tercapai kalau stimulus yang diberikan oleh pemerintah sudah bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat," terangnya.
Lalu, berapa kerugian hotel dan restoran di Indonesia sampai saat ini? Kerugian ditaksir mencapai 1,5 miliar dolar AS atau sekitar Rp21 triliun!
"Untuk sementara waktu untuk sektor hotel dan restoran kami menghitung sudah mengalami kerugian 1,5 miliar dolar AS. Itu dari turis Tiongkok sendiri saja sudah 1,1 miliar dolar AS. Lalu ditambah dengan ikutan-ikutan yang lain paling sedikit ada 400 miliar dolar AS," tutur Hariyadi.
Kerugian ini, menurut Hariyadi yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), bakal terus berlanjut kalau masyarakat tidak melakukan aktivitas. Selain itu, kerugian yang telah ia sebutkan tersebut juga belum dihitung berdasarkan supply chain baik untuk perhotelan maupun restoran.
"Supply chain-nya untuk hotel lebih dari 500 jenis untuk operasional hari-hari. Ini menyangkut UKM. Sehingga permasalahan ini tidak sesederhana yang dibayangkan, tapi betul-betul menghentikan ekonomi masyarakat," ungkap Hariyadi.
Advertisement
Pencegahan Corona
Kerugian tersebut tak hanya terpusat di satu destinasi wisata tetapi telah menjalar ke seluruh Indonesia. "Waktu pertengahan Januari itu daerah-daerah tertentu seperti Manado, Bali, dan di Batam. Tapi sekarang yang terjadi adalah semuanya sudah mulai terdampak," jelas Hariyadi.
Di Bali, rata-rata okupansi hotel hanya 20 persen, terutama di daerah-daerah yang banyak dikunjungi oleh individual traveler seperti Kuta, Sanur, Legian, Ubud dan Jimbaran. Tak hanya hotel, hal serupa juga terjadi pada bisnis restoran. Hanya saja, efisiensi biaya pekerja untuk bisnis restoran tidak serumit beban yang ada pada bisnis hotel.
Di sisi lain, beban pengusaha hotel dan restoran yang juga perlu diefisienkan adalah pembayaran bunga pinjaman. Namun hal ini masih perlu kebijakan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). "Biaya yang juga besar, kita minta OJK adalah relaksasi pinjaman, yakni untuk bayar pokok dan bunga pinjaman," katanya.
Meski begitu, pihak PHRI masih terus berusaha untuk meningkatkan okupansi mereka dengan berbagai cara yang dianggap efektif. Seperti juga bandara dan pelabuhan, industri perhotelan dan restoran di Indonesia juga memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) pencegahan virus corona.
"Panduan pencegahan virus corona ini untuk menjaga dan antisipasi para tamu yang datang, juga karyawan," kata Hariyadi Sukamdani. Ia menyebutkan SOP pencegahan virus corona sudah disebar ke seluruh anggota PHRI. SOP tersebut meliputi adanya pengadaan thermal scanner untuk mengecek suhu badan dan hand sanitizer.