Liputan6.com, Jakarta - Pandemi corona Covid-19 tak menghentikan gerak para penebar jerat. Yang jadi korban kali ini adalah seekor harimau betina bernama Corina yang sedang berkeliaran di kawasan Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan, Riau.Â
Laporan harimau terjebak jerat di kaki kanan depannya didapat tim BBKSDA Riau dari manajemen PT. RAPP. Tim penyelamat berkejaran dengan waktu agar kondisi kesehatan kucing besar itu tak semakin memburuk. Pasalnya, hewan yang terluka karena jerat tidak selalu bisa disembuhkan.
Advertisement
Baca Juga
Tak jarang kaki harimau harus diamputasi karena lukanya sudah parah dan sulit disembuhkan. Bila itu terjadi, harimau akan kesulitan bertahan di alam liar dan jelas semakin mengurangi populasi mamalia yang kini jumlahnya diyakini tidak lebih dari 600 ekor berdasarkan data Population Viability Analysis (PVA).
Tim penyelamat harus menempuh perjalanan ke hutan dalam keterbatasan di tengah pandemi corona COVID-19. Corina akhirnya berhasil diselamatkan. Hewan berusia antara 3--5 tahun itu lalu dibawa ke Pusat Rehabilitasi Harimau Sumatera Dharmasraya (PRHSD) Sumatera Barat setelah berkoordinasi dengan BKSDA Sumatera Barat.
Setelah 19 jam perjalanan, harimau Corina sampai di PRHSD dan segera dirawat intensif lantaran luka jerat yang dideritanya sangat serius. Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Indra Exploitasia memperkirakan Corina diperkirakan terjerat 2--3 hari sebelum diselamatkan. Jerat itu menempel sampai ke tulang kakinya.
"Semua otot sudah rusak tetapi masih beruntung tendonnya masih baik sehingga masih ada peluang untuk sembuh dengan catatan proses penyembuhannya baik dan tidak terjadi infeksi sekunder," katanya, dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, Senin, 13 April 2020.
Kondisi Corina
Setelah beberapa hari dirawat, kondisi harimau Corina terbilang membaik. Berdasarkan laporan tim medis PRHSD, drh. Saruedi Simamora, nafsu makan Corina baik. Ia juga aktif di dalam kandang rawat dan sering terpantau berendam di dalam bak air yang disiapkan.
"Progres kesembuhan luka jerat cukup bagus dengan memberikan perawatan dan pengobatan yang intensif, serta disiapkan lampu penghangat dekat tempat tidur Corina dan penutup kandang untuk mengurangi cuaca dingin di areal PRHSD. Corina masih memiliki naluri alami yang ditunjukkan dengan seringnya Corina menjilati lukanya untuk dibersihkan," kata Saruedi.
Kini, tim berharap luka Corina bisa sembuh. Setelah melewati masa rehabilitasi dan habituasi, harimau betina itu bisa dilepasliarkan kembali ke alam liar.
Indra menambahkan harimau Sumatera yang sehat dan memenuhi syarat untuk dilepasliarkan, juga akan dilakukan pelepasliaran secepatnya setelah melalui masa rehabilitasi dan calon lokasi pelepasliaran ditentukan melalui kajian habitat.
Kajian habitat perlu dilakukan sebelum harimau dilepasliarkan ke alam, meliputi ketersedian satwa mangsa, dukungan ekologi, sumber air mencukupi dan aspek sosial ekonomi masyarakat sekitar serta tentunya endemisitas Habitat Harimau Sumatera.
Dalam kurun dua tahun terakhir KLHK bersama Pusat Rehabilitasi Harimau Sumatera Dharmasraya - Yayasan ARSARI Djojohadikusumo (PR-HSD Yayasan ARSARI) dan para pihak sudah berhasil melepasliarkan harimau Bonita, Atan Bintang, dan Bujang Ribut.Â
Dalam upaya penanggulangan konflik satwa liar, KLHK telah membentuk 18 Wildlife Rescue Unit (WRU) di UPT Ditjen KSDAE. Pembentukan WRU bertujuan untuk respons cepat penanganan langsung satwa yang terlibat konflik dengan manusia, penyelamatan, translokasi dan proses mengembalikan satwa korban konflik kembali ke habitatnya.
"Harapan kita semua di tengah situasi pandemi Covid-19, kita perlu lebih mawas diri dan waspada dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Bahwa satwa liar memiliki peran penting dalam relung ekologi, oleh karenanya kita perlu menjaga dan melestarikan alam beserta isinya. Konservasi Harimau Sumatera harus diupayakan semaksimal mungkin demi kelestarian salah satu satwa kebanggaan Indonesia ini," jelas Indra.
Advertisement