Liputan6.com, Jakarta - Pandemi menciptakan banyak kreativitas. Masker, misalnya. Dari hanya sekadar berfungsi sebagai penutup hidung dan mulut, benda itu kini jadi aksesori pelengkap penampilan dengan pilihan desain beragam.
Salah satunya yang dirancang oleh Pheren Soepadhi, desainer pakaian dan aksesori asal Indonesia yang tinggal di Los Angeles, California, Amerika Serikat. Di bawah lini fesyen yang didirikannya pada 2011, Pheren Couture, masker berbahan kain ini memiliki sentuhan haute couture atau hasil karya fashion yang berkualitas tinggi dengan proses penjahitan yang sangat detail.
Advertisement
Baca Juga
Sebelum pandemi Covid-19, masker buatannya bahkan sudah menarik perhatian dunia fashion di Amerika Serikat. Pada 2019, ia sempat memamerkan koleksi gaun pengantin dan aksesori 'Lacrimosa' di panggung New York Fashion Week dengan para model menggunakan masker sebagai aksesori pelengkap.
Mengapa masker? Dikutip dari VOA Indonesia, Rabu (20/5/2020), melalui 'aksesoris' ini, Pheren berusaha menunjukkan kepribadiannya yang menurutnya cenderung introver. Ia mengedepankan detail sulaman manik-manik yang berwarna-warni pada maskernya.
"Aku memang dari dulu selalu di style yang sama ya, Victorian campur juga warrior style. Jadi makanya kenapa di sini ada banyak yang tipe-tipenya lebih ke warrior, tapi lumayan feminin-nya Victorian gitu, tapi warrior gitu," jelas Pheren Soephadi.
Pada waktu itu, Pheren membuat masker menggunakan kerangka kawat dan renda, yang khusus dibuat untuk ditampilkan di New York Fashion Week. Setelah terjadi pandemi COVID-19, ia memodifikasinya menjadi masker pelindung diri dengan menggunakan dua lapis kain berbahan 100 persen katun.
"Yang sekarang ini aku bikin kan memang harus pakai untuk benar-benar protect, jadinya aku pakai bahan katun, lace, dan manik-manik gitu, bukan pakai kawat lagi nih, udah bisa yang langsung di-attached ke kuping gitu pakai (tali) elastic," ujar desainer yang sudah bermukim di Los Angeles sejak tahun 2012 ini.
Berapa Harganya?
Masker-masker itu dijual Pheren lewat online. Harganya berkisar 20--149 dolar AS atau setara Rp295 ribu hingga Rp2,2 juta juta, tergantung dari kerumitan pembuatannya. Tiap masker dibuat berbeda olehnya dan memiliki keunikan tersendiri.
Pheren meluncurkan koleksi masker terbarunya setiap dua kali dalam seminggu. Siapa yang menyangka jika masker-masker karyanya ini langsung ludes begitu ia unggah ke situs-nya untuk dijual, hanya dalam hitungan 1-2 menit saja.
"Cuman iseng aja sih, sebenarnya," kata Pheren sambil tertawa.
Sejak itu, permintaan akan masker buatannya semakin membludak. Apalagi, otoritas setempat, yakni Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Menular di Amerika Serikat, menganjurkan warga untuk mengenakan masker kain jika berada di luar rumah. Negara bagian California pun memiliki aturan tersendiri seputar hal ini, mengingat dimulainya kembali sebagian kegiatan bisnis sudah mulai dilakukan secara perlahan.
"Di California, (walikota) Eric Garcetti mengharuskan pakai cloth mask,"Â kata Pheren.
Kebanyakan pembeli masker kain karya Pheren ini adalah warga lokal Amerika Serikat. Rata-rata adalah musisi atau penampil lainnya, serta warga Indonesia yang suka dengan gaya eksentrik dan couture yang Pheren tuangkan ke masker-masker karyanya ini. Salah satunya, warga Indonesia, Endah Redjeki, yang tinggal di Pasadena, California.
"Aku kebetulan dibuatkan custom-made sama Pheren dan memang Pheren juga kebetulan tahu persis selera aku seperti apa. Jadi pada saat aku terima itu benar-benar surprise banget. Jadi itu desainnya keren banget, very detailed, jadi mulai dari manik-maniknya, benar-benar rapi banget, pokoknya speechless banget deh dan benar-benar couture sekali," kata Endah kepada VOA.
Menurut Pheren, permintaan masker couture yang eksentrik, ditambah dengan detail yang menyeluruh di kainnya lebih tinggi dibandingkan dengan yang simpel. Semakin rumit detailnya, tentu saja pembuatannya semakin menantang bagi Pheren. Proses penjahitan satu masker yang penuh dengan detail manik-manik biasanya memakan waktu sekitar 3--5 jam.
"Jadi, aku nggak bisa produksi banyak juga sebetulnya. Jadi dalam satu minggu, maksimum delapan atau sembilan yang couture mask. Aku masih ada nerima pre-order untuk simple mask, tapi yang simple mask nggak terlalu banyak permintaan sih," ujar desainer kelahiran 1984 yang pernah menempuh pendidikan fashion selama satu tahun di Bunka School of Fashion, Jakarta.
Advertisement