Liputan6.com, Jakarta - Menyudahi rasisme bisa ditempuh lewat berbagai cara, dan satu yang tak kalah penting adalah bagaimana memutus kultur ini dengan membekali anak-anak yang notabene merupakan generasi penerus.
Psikolog Marcelina Melisa menjelaskan, pada dasarnya anak terlahir dengan persepsi netral terhadap semua hal di sekitar. Pembentukan persepsi selama masa tumbuh kembang anak muncul karena berbagai faktor, termasuk bagaimana orang sekitar bereaksi pada orang lain atau peristiwa tertentu.
"Misal, di Indonesia yang memiliki berbagai latar belakang suku dan ras, seorang ibu membiasakan anaknya untuk tidak memilih-milih dalam berteman, tidak memberi judgment negatif pada orang yang berbeda suku dan ras, juga membiasakan anak bersosialisasi dengan teman dari berbagai budaya," katanya lewat teks pada Liputan6.com, Jumat, 5 Juni 2020.
Advertisement
Dari situ, sambung Marcelina, anak akan menghargai perbedaan antara ia dan temannya, serta tak memperlakukan secara berbeda teman dari ragam suku dan ras.
"Jadi, topik rasisme merupakan hal yang perlu dijelaskan mengenai contoh dan pembelajaran sehari-hari. Karena konsepnya yang abstrak, agak sulit bagi anak untuk memahami bila tidak disertai contoh konkrit," kata psikolog yang praktik di Brawijaya Clinic bersama Tiga Generasi tersebut.
Baca Juga
Psikolog Pendidikan Adinda Istiqomah menambahkan, rasisme sendiri sebenarnya bukanlah topik baru. Secara formal, anak biasanya akan mulai mengenal rasisme ketika di jenjang sekolah dasar.
"Misal, saat pelajaran pendidikan kewarganegaraan dan tematik. Anak-anak lebih bisa memahami atau mengidentikkan rasisme dengan perilaku perundungan, entah secara verbal maupun non-verbal terhadap kaum minoritas," katanya lewat teks pada Liputan6.com, Jumat, 5 Juni 2020.
Secara teori psikologi, sambung Adinda, tahap perkembangan psikososial anak usia sekolah, yakni 6--12 tahun, menurut Erick Erickson, adalah industry versus inferiority, di mana pada tahap ini anak punya kemampuan menghasilkan karya, berinteraksi, dan berprestasi.
Dua hal yang biasanya secara mudah dicerna anak tentang rasisme, yakni ketika membedakan tampilan fisik dan golongan suku tertentu. "Tampilan fisik dapat dilihat langsung dari penglihatan, sementara golongan suku di Indonesia, misal dari segi bahasa pun ada perbedaan," jabarnya.
Dengan mengajarkan antirasisme pada anak, tambah Adinda, mereka juga bakal memahami nilai pembelajaran sosial lain, seperti memahami perasaan atau emosi yang muncul saat dibedakan, perlunya berempati pada orang lain, pentingnya memahami perbedaan dan menghargai orang lain, serta manfaat menghargai orang lain.
Mengajarkan anak-anak tentang rasisme bisa dimulai dari usia dini, yakni 4 tahun, saat mereka menunjukkan kemampuan verbal dan dapat mengamati perbedaan-perbedaan manusia, terutama fisik. Mengajarkan antirasisme pada anak bisa dilakukan dengan bercerita.
"Dengan bercerita, anak juga bisa diberi pengetahuan tentang keberagaman manusia. Selain itu aktivitas, seperti membacakan buku dongeng, bisa menanamkan value perkataan apa saja yang bisa melukai dan berpotensi menindas, juga setiap orang punya hak istimewa untuk diperlakukan setara," tuturnya.
Menjelaskan Rasisme pada Anak
Adinda memaparkan, rasisme disampaikan pada anak sebagai perbuatan yang menyakitkan, apakah itu dalam bentuk ejekan atau penghinaan secara verbal, maupun secara daring yang berdampak pada ketidaksukaan terhadap kelompok tertentu.
"Rasisme tak hanya ditunjukkan dengan cara verbal, seperti mengolok teman, tapi juga sikap seperti cara menatap teman yang berbeda warna kulit, beda bahasa, budaya, gender, agama, serta status sosial ekonomi," katanya.
Definisi rasisme, menurut Marcelina, bisa dimulai dari menjelaskan adanya perbedaan individu. Selain fisik, terdapat perbedaan kebiasaan. Ada anak makan menggunakan sendok dan garpu, garpu dan pisau, atau sumpit. Lalu, keunikan perayaan hari besar. Ada anak merayakan Natal, Lebaran, dan Imlek.
"Ada pula keunikan budaya. Terdapat anak terbiasa berbicara menggunakan suara lantang di keluarga, namun ada juga yang bersuara pelan," papar konselor sekolah di North Jakarta Intercultural School itu.
Setelah anak memahami bahwa dirinya berbeda dengan anak lain, serta terbiasa melihat keberagaman dan menghargai keberagaman tersebut, maka akan lebih mudah menjelaskan definisi rasisme.
Advertisement
Memutus Kultur Rasisme
Memutus rantai kultur rasisme dengan memberi pengertian pada anak sejak dini dianggap sangat mungkin. Apalagi, bila orangtua selalu memberi bimbingan dan membuka ruang diskusi bagi anak jika melihat atau sedang menghadapi masalah terkait rasisme.
"Karena untuk mengajarkan anak menghargai keberagaman tidaklah singkat dan sulit jika hanya sekali-kali diajarkan. Pembelajaran akan baik jika konsisten, disertai contoh dari orangtua, sehingga nilai yang baik akan tertanam dalam diri anak hingga dewasa," jelas Marcelina.
Adinda menambahkan, pendidikan merupakan alat terbaik menangkal rasisme dan diskriminasi, serta membangun masyarakat toleran. Karenanya, guru perlu bersikap hati-hati dalam melakukan interaksi dengan siswa.
"Sekolah harus mengembangkan profesionalitas guru untuk bersikap adil dan menciptakan ruang belajar aman tanpa membedakan. Selain itu, sekolah dapat membantu siswa mengembangkan pikiran positif terhadap identitas etnis atau ras seseorang dengan memberi mereka kesempatan jadi role model," ungkapnya.
"Salah satu contoh bagaimana guru berhasil memberi ruang bagi perbedaan ras terlihat dalam film Karate kidsatau Freedom Writers. Di sana, guru memberi pemahaman terhadap perbedaan identitas bukan suatu masalah," imbuh Adinda.
Berani Menegur
Dari situ, menurut Adinda, anak bakal terbekali sikap asertif yang bakal dengan tegas menolak melakukan perilaku diskriminasi. Anak dapat menegur dengan cara menunjukkan akses informasi atau sumber berita tentang rasisme agar mereka bisa menjelaskan, bahkan menanggapi jika rasisme terjadi.
Marcelina pun menambahkan beberapa cara yang dapat digunakan anak untuk menolak perbuatan maupun perkataan rasisme, yakni menyampaikan bagaimana jika orang itu ada di posisi korban, di mana mereka akan merasakan emosi negatif, seperti malu, marah, sedih, atau jadi kurang percaya diri.
"Bisa juga korban memikirkan hal yang negatif, seperti ingin bergegas pergi atau apa yang dilakukannya kelak karena tidak terima dengan perlakuan tersebut," ungkapnya.
Kemudian, menyampaikan bahwa rasime adalah isu sensitif dan tidak seharusnya jadi bahan ejekan.
"Berusaha memberi alternatif cara penyampaian yang dapat digunakan apabila ingin menyampaikan hal yang tidak disukai pada korban, namun bukan terkait rasisme, sehingga ucapan jadi hal yang konstruktif," tandas Marcelina.
Advertisement