Sukses

Pandemi dan Dampaknya pada Daya Beli Pakaian Dalam Pria

Di baliknya juga terdapat upaya mengubah perspektif tentang pakaian dalam pria.

Liputan6.com, Jakarta - Mantan Chair Federal Reserve Amerika Serikat Alan Greenspan pernah mengatakan bahwa resesi maupun kondisi kritis bakal membuat penjualan pakaian dalam pria terjun bebas, lantaran mereka tak menganggap item tersebut sebagai kebutuhan esensial.

Namun, menurut Christian Larson dan Andreas Palm, pendiri label pakaian dalam asal Stockholm, Swedia, CDLP, dilansir dari laman South China Morning Post, Senin (15/6/2020), fakta di masa pandemi justru berlawanan dengan pernyataan Greenspan.

Penjualan memang dilaporkan sempat turun di awal penyebaran virus SARS-CoV-2, tapi dalam beberapa minggu terakhir, levelnya malah naik tajam.

"Dengan begitu, bisa dilihat bahwa pria sekarang peduli pada kebutuhan esensialnya dan kami menganggap label kami sangat relevan dengan pemikiran itu," kata Larson.

"Kami melihat bahwa selama pandemi, pria justru tak membeli barang mahal, seperti jaket kulit. Mereka cenderung menghabiskan uang di barang esensial, termasuk pakaian dalam," imbuhnya.

Rekan bisnis yang merupakan teman lama tersebut mendirikan CDLP pada 2016 setelah menyadari pakaian dalam pria tak mendapat cukup perhatian. Larson menuturkan, saat itu, penjualan pakaian dalam pria didominasi brand besar.

"Kami merasa iklan dan perspektif yang coba dibangun dari penjualan pakaian dalam pria sangat ketinggalan zaman, juga dilekatkan dengan kesan maskulin di level tertentu. Sangat membosankan dan semuanya terlihat sama," ucapnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Penggambaran Senatural Mungkin

Keduanya pun menghabiskan lebih dari dua tahun untuk mencari material terbaik. Mereka akhirnya 'pulang' dengan menemukan material breathable yang secara natural jadi antibakteri dan melembapkan kulit, serta punya dampak rendah bagi lingkungan.

Dalam pemasaran, CDLP juga tak memanfaatkan jasa model, namun teman-teman mereka, dengan sesi pemotretan bertema senatural mungkin. "Kami percaya ada perubahan yang diyakini generasi baru untuk nyaman mengenakan pakaian dalam dan tetap terlihat menarik," ucap Larson.

"Perempuan umumnya membeli pakaian dalam di kesempatan tertentu, berdasarkan mood, bahkan sangat lekat dengan emosi. Mereka ingin merasakan perasaan tertentu dan menyelaraskan dengan penampilannya. Juga, tak akan menggunakan model yang sama setiap hari, dan kami ingin memberi kesempatan serupa bagi pria," sambungnya.

Larson dan Palm percaya, di kondisi sulit seperti sekarang, orang akan lebih tertarik pada brand yang menawarkan produk tahan lama, punya material bagus, dan tetap terlihat bagus saat dikenakan.

"Kami mulai dari pakaian dalam, tapi tidak menutup kemungkinan akan merambah item lain, seperti kaus, kaos kaki, pakaian renang, dan lain sebagainya," tandas Larson.