Sukses

Nadhira Afifa Cerita Pengalaman Jadi Mahasiswa Muslim di Harvard University

Nama Nadhira Nuraini Afifa menarik perhatian publik setelah membawakan pidao kelulusan Harvard University.

Liputan6.com, Jakarta - Nama Nadhira Nuraini Afifa belakangan jadi perbincangan hangat publik setelah membawakan pidato kelulusan di Harvard University, beberapa waktu lalu. Fakta ini kemudian membuat sosoknya dinilai sangat inspiratif.

Lewat sesi live Instagram yang kemudian diunggah ke akun YouTube Billy Mambrasar, Sabtu, 13 Juni 2020, perempuan berdarah Minang itu bercerita berbagai pengalaman selama menjalani studi di salah satu universitas top dunia tersebut.

Tak ditampik Nadhira bahwa beradaptasi adalah tantangan terberat yang ia lalui selama studi di Harvard. "Aku minder karena merasa semua orang di sana hebat. Lalu, secara kultur juga kan di US beda. Itu aku alami sekitar satu atau dua minggu," tuturnya.

Setelah berani memulai perbincangan dengan orang-orang yang ia temui, Nadhira mendapati bahwa perasaan tersebut juga dirasakan tak hanya olehnya.

"Mereka ternyata minder juga. Dari situ, aku tahu bahwa sebetulnya sama saja. Mereka juga orang biasa kayak aku," ucap lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tersebut.

Nadhira mengatakan, soal jadi Muslim dengan penampilan notabene berhijab, ia merasa beruntung kuliah di Harvard yang berlokasi di Boston. Pasalnya, kota di negara bagian Massachusetts itu merupakan tujuan tak sedikit pendatang.

"Jadi, agama minoritas di sana tak cuma Islam. Dari situ, aku tahu banyak orang yang juga merasakan tantangan yang sama," tuturnya.

Ia menambahkan, di lingkungan Harvard sendiri terdapat musala yang membuatnya bisa bertemu mahasiswa Muslim lain. "Dari situ ngobrol dan akhirnya punya komunitas sendiri. Ikatan seperti ini menimbulkan rasa percaya diri," katanya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 3 halaman

Kegiatan Sosialisasi

Nadhira mengatakan, ia pun tak pernah jadi korban rasisme. "Balik lagi mungkin karena aku di Boston, lebih ke kota pendatang dengan segala keberagaman. Jadi, lebih biasa sama perbedaan," ucapnya.

Dengan segala keterbatasan, perempuan yang menjalani studi setahun setelah menikah tersebut berusaha tetap bersosialisasi. "Aku memang tidak bisa minum (alkohol). Tapi, semisal ada kumpul di bar, aku tetap ikut," ujarnya.

Kegiatan sosialiasi dalam membangun pertemanan dan networking ini dijalani dengan tetap memegang teguh prinsipnya. "Mereka pun menghargai itu (Nadhira tak minum alkohol). Aku pun berusaha terbuka dengan lingkungan," kata Nadhira.

Soal sistem pendidikan secara praktik di Harvard, Nadhira mengatakan, nuansa persaingan sama sekali tak terasa.

"Karena mereka sebenarnya juga sudah pintar-pintar banget. Kayaknya semakin pintar, orang jadi tidak punya jiwa buat mengalahkan orang lain. Justru mencari apa yang bisa mereka bantu," tuturnya.

Karenanya, diskusi dan bertukar pengetahuan jadi sistem belajar yang akrab dengan alumni School of Public Health Harvard University tersebut. "Lebih ke kumpul bareng dan bikin sesuatu bersama," imbuh Nadhira.

3 dari 3 halaman

Menikah Bukan Alasan Berhenti

Nadhira menuturkan, kebanyakan orang berpikir untuk menyelesaikan semua hal sebelum menikah. Padahal, mewujudkan keinginan dan meraih bayak hal pun bisa dilakukan setelah mengucap janji suci.

"Selama studi, aku LDR dengan suami. Aku bersyukur juga kami fokus pada keinginan masing-masing. Ia di karier, aku di pendidikan. Semisal suami ikut, mungkin jadi serba terbatas karena tidak enak pulang terlambat dan sebagainya," ucap Nadhira.

Kendati demikian, ia punya jadwal ketat kapan harus belajar dan menghubungi rumah. "Aku juga berbagi pengetahuan ke suami dan kasih pengertian kalau lagi sibuk," ucapnya.

Nadhira mengatakan, masih sangat sedikit orang Indonesia yang berani daftar ke sejumlah sekolah top dunia. "Jangan takut daftar. Bermimpi setinggi mungkin, tapi harus dibarengi dengan persiapan matang," katanya.

Bagi para perempuan Indonesia, Nadhira mengatakan, peran perempuan dan lelaki di bidang pendidikan tak ada bedanya. Maka dari itu, jangan takut untuk studi setinggi mungkin.

"Karena berkembang bersama (suami) malah jadi lebih baik. Tidak ada yang lebih tinggi atau rendah. Jadi perempuan pintar akan melahirkan anak dengan IQ tinggi. Tapi, semua itu dilakukan tanpa melupakan tanggung jawab sebagai istri," tandasnya.