Sukses

Ingat, Kekerasan dalam Rumah Tangga Tak Sebatas Fisik

Selama pandemi, Komisi Nasional Perempuan melaporkan jumlah korban KDRT bertambah.

Liputan6.com, Jakarta - Psikolog Klinis, Wulan Danoekoesoemo, mengatakan bahwa berdasarkan hasil survei yang dilakukan Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan), korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) meningkat selama pandemi.

Identifikasinya bertitik berat pada perempuan berlatar belakang kelompok berpenghasilan kurang dari Rp5 juta per bulan, pekerja sektor informal, berusia antara 31--40 tahun, berstatus perkawinan menikah, memiliki anak lebih dari tiga orang, dan menetap di 10 provinsi dengan paparan tertinggi COVID-19.

"Saya tak bisa mengatakan karena pandemi kemudian seseorang melakukan KDRT. Karena, perlakuan macam ini bukan tipe yang bisa dibangun dalam semalam. Selalu ada prosesnya," ungkap Co-Founder Lentera Sintas Indonesia tersebut dalam diskusi daring bertajuk Not All Houses Are Homes, Rabu, 8 Juli 2020.

Yang harus jeli dicermati, sambung Wulan, KDRT tak semata tentang fisik. Tapi, bisa juga dalam bentuk body shamming, seksual, dan panggilan tak enak.

"Beberapa orang percaya, perlakuan pasangan yang seharusnya jadi orang yang menyayangi kita itu sebagai bentuk cinta. Padahal, tak begitu. Tanda-tanda KDRT ini harus dikenali dengan mengedukasi diri. Tentukan mana yang sudah melewati garis batas," kata Wulan.

Domestic Violence Advocate in Child Protective Services, New Hope for Women, Amerika Serikat, Nicolle Littrell, menyambung bahwa sebenarnya ada pola tertentu yang biasanya dilakukan para pelaku KDRT.

"Mereka (pelaku KDRT) bisa menggunakan berbagai taktik, tapi pola dominannya satu, menciptakan ketakutan konstan. Mereka harus berada dalam posisi yang mengendalikan keadaan dan merasa punya hak untuk membatasi kuasa para korban," ujar Nicolle.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Perluas Empati dan Simpati

Dalam penanganan, sambung Nicolle, pembingkaiannya harus lebih pada pelaku KDRT. Jadi, pertanyaan yang dimunculkan, 'Mengapa ia melakukannya?', bukan 'Mengapa si korban tak kabur?'.

Karenanya,  mengidentifikasi langkah aman jadi yang paling penting untuk para korban. "Langkah pertama yang diambil untuk keluar dari situasi ini selalu jadi yang paling susah," kata Wulan.

Maka dari itu, menyiarkan bahwa para korban KDRT sangat bisa mengakses bantuan adalah dorongan pertama. "Banyak yang tak bisa bicara langsung karena bakal memperburuk keadaan. Karenanya, orang di sekitar harus berusaha memperluas empati dan simpati," imbuhnya.

Perkenalkan cara-cara terbuka untuk menawarkan bantuan. Kalimatnya, kata Wulan, bisa berupa, "Bila tak keberatan, apapun yang ingin kamu ceritakan, saya selalu ada di sini. Kamu selalu bisa berbicara dengan saya."

Alison Belyea, seorang penyintas KDRT, mengatakan bahwa tahu ada orang yang bakal selalu menanyakan keadaanya jadi satu cara keluar dari kondisi sulit tersebut. "Tahu kita tidak sendiri, tahu bahwa ada dunia berbeda di ujung sana yang menunggu. Minta bantuan, minta bantuan, minta bantuan, itulah yang selalu saya katakan," ucapnya.

"Kita harus mulai membicarakan ini (KDRT) terus supaya lebih banyak korban yang mau angkat bicara. Jumlah yang kita lihat itu masih semu karena kasus KDRT diduga banyak yang belum dilaporkan" kata Wulan.

"Ini hanya puncak gunung es yang kita lihat bersama, belum tahu bakal sebesar apa di bawahnya. Jenis kekerasan ini tak pandang bulu. Bisa terjadi pada pria maupun wanita," tandas Wulan.