Sukses

Mungkinkah Rumah Kita Bisa Bebas Sampah?

Jumlah produksi sampah rumah tangga meningkat signifikan selama pandemi berlangsung. Apa yang bisa kita lakukan untuk menanganinya?

Liputan6.com, Jakarta - Selama pandemi, apakah Anda pernah memperhatikan berapa banyak sampah yang dihasilkan? Apakah lebih banyak atau justru lebih sedikit? Mayoritas mungkin akan menjawab lebih banyak daripada sebelumnya.

Salah satu yang merasakannya adalah Vania Herlambang. Puteri Indonesia Lingkungan 2018 sekaligus Ambassador Sustainable Development Goal Indonesia itu mengaku produksi sampahnya makin bertambah setelah mencoba memasak sendiri di rumah. Kok bisa?

Vania mengaku lantaran bersemangat memasak, ia sampai lupa diri memesan beragam bahan makanan lewat toko daring. Namun, ia belum belajar untuk menyimpannya dengan baik.

"Saya enggak biasa masak, jadi enggak ngerti cara food storage yang benar. Gimana nyimpannya supaya enggak cepat busuk," celoteh Vania dalam diskusi virtual New Lifestyle in The New Normal di Jakarta, Rabu, 15 Juli 2020. Alhasil, banyak bahan makanan yang harus dibuang ke tempat sampah. 

Belum lagi ia tergoda belanja daring yang terbilang masih kurang ramah lingkungan. Pasalnya, produk biasanya menggunakan kemasan berlipat-lipat demi alasan keamanan dan kebersihan. 

"Pas datang, produk dilapis bubble wrap, terus dikemas dalam kardus. Mana kardus oversize gitu...Kepikiran kardusnya mau disimpan aja, siapa tahu kepake lagi. Tapi, sebagai orang yang tinggal di tempat mungil, mau disimpan di mana," tutur Vania.

Lantaran sederet pengalaman itu, ia mengaku kini harus semakin bijak berbelanja agar tidak gampang memproduksi sampah. "Kalau bisa di-reduce, mending di-reduce dulu," kata dia.

 

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 3 halaman

Benarkah Bisa Nol Sampah?

Tren jumlah sampah rumah tangga meningkat di masa pandemi terbukti. CEO Nara Sinergi Viringga Kusuma menyebut peningkatannya mencapai 37 persen dari masa sebelum pandemi.

Ia juga menyebut setiap rumah tangga wajib bertanggung jawab atas sampah yang dihasilkan. Pasalnya, konsumen sendiri yang memilih untuk memesan, membeli, dan mengonsumsinya untuk kebutuhan pribadi.

"(sampah rumah tangga) sebenarnya bukan tanggung jawab negara. Kita yang beli sendiri, request sendiri, konsumsi sendiri. Negara bisa bantu, tapi enggak bisa sepenuhnya diserahkan ke negara," ucapnya.

Kalau pun seseorang sudah membayar sejumlah biaya kebersihan, sambung Ringga, itu hanya cukup untuk membiayai pengangkutan sampah dari rumah ke tempat pembuangan akhir. Sementara, biaya penanganan sampahnya entah ditutup dari mana.

"Belum lagi sampah di Bantar Gebang diprediksi penuh 2021. 60 persen isinya adalah sampah organik. Artinya, banyak rumah tangga yang tidak sorting sehingga organik dan anorganik tercampur. Kalau sudah begitu, sampah jadi sulit ditangani," jelasnya.

Ia pun meluncurkan gerakan Rumah Gue Bebas Sampah. Tujuannya agar setiap rumah tangga sadar untuk bisa mengolah sampahnya masing-masing dan meringankan beban yang ada.

 

 

3 dari 3 halaman

3 Langkah Penting

Ringga menyebut ada tiga hal yang bisa dilakukan setiap orang agar bisa membebaskan rumah dari sampah. Pertama adalah memilah sampah yang dihasilkan. Berikutnya, mengaudit sampah di rumah. Tujuannya untuk mengenali sumber sampah terbanyak di rumah tangga dan merumuskan solusinya.

Tips terakhir adalah menolak atau mengurangi sampah. Artinya, sebelum membeli atau menerima sesuatu, pastikan Anda tahu bagaimana mengelola kemungkinan sampah yang dihasilkan.

"Itu paling ideal atau paling mudah dilakukan," kata dia. 

Sementara itu, Wilma Chrysanti, co-founder Kota Tanpa Sampah, menyebut setiap orang perlu memiliki ilmu komposting. Berdasarkan survei yang dilakukannya, rata-rata sampah organik mencapai 50 persen dari total sampah rumah tangga.

"Kompos semestinya jadi pengetahuan dasar warga bumi agar selaras dengan alam...Dengan komposting, bisa kurangi sampai sampai 50 persen, juga mengurangi efek rumah kaca," kata dia.