Liputan6.com, Jakarta -Â Di masa pandemi corona Covid-19, Rizal tak bisa menikmati liburan. Selain harus lebih banyak berada di rumah untuk menghindari terpapar corona dan banyak tempat wisata tutup, ia juga harus menjalani Work From Home (WFH). Karena itu, staycation dianggap jadi pilihan terbaik.
Dengan menginap selama beberapa hari di hotel, ia bisa mendapat suasana baru meski suasananya beda dengan sebelum pandemi. Pria yang masih lajang ini sehari-hari tinggal bersama orangtua dan kedua adiknya yang juga belum menikah di kawasan Jakarta Selatan. Sementara kakaknya yang sudah menikah dan punya anak tinggal di daerah Tangerang.
"Kalau di rumah yang sama orangtua dan adik saya aja, biasanya keponakan saya suka menginap kalau lagi weekend atau liburan. Tapi karena pandemi ya rumah kita steril, nggak ada yang boleh menginap dulu. Biasanya saya suka traveling ke luar kota buat liburan tapi ya sekarang belum bisa. Makanya saya pilih menginap di hotel di dalam kota buat pengganti liburan," tuturnya pada Liputan6.com, Kamis, 16 Juli 2020.
Advertisement
Baca Juga
Sejak PSBB di Jakarta mulai memasuki masa transisi, Rizal mengaku sudah beberapa kali menginap di hotel untuk staycation agar merasakan suasana baru karena jenuh berbulan-bulan hanya di rumah saja. Ia beberapa kali menginap di saat weekend, tapi pernah juga di weekdays.
"Kalau di hari biasa pernah saya nginap sampai lima hari karena sengaja ngambul cuti. Kebetulan hotelnya lagi kasih diskon lumayan besar. Tapi saya lebih sering staycation pas weekend, ya uat bersantai aja setelah kerja lima hari," terangnya.
Meski suasana dan fasilitas hotel sudah berbeda dengan sebelum pandemi, Rizal merasa staycation jadi pilihan liburan yang pas dan realistis.
"Staycation sekarang ini ya pilihan paling pas buat pengganti liburan dan traveling. Suasananya memang beda, ada protokol kesehatan yang harus dijalani. Tapi buat saya nggak masalah, saya memang lebih banyak di kamar, nonton televisi satelit, sesekali browsing internet dan malamnya cari makanan di luar sekalian beli camilan buat temen nonton televisi," ucapnya lagi.
Lalu, apakah tingkat hunian hotel sudah mulai banyak terisi dengan pola staycation di saat pandemi dan memasuki era new normal? Di hotel Santika Premiere Hayam Wuruk, Jakarta Pusat, tingkat hunian memang sudah mulai meningkat tapi masih ternasuk rendah dan beda jauh dengan sebelum pandemi.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Tidak Naikkan Tarif
Menurut Lili Julianda, Sales Executive Hotel Santika Premiere Hayam Wuruk, para tamu memang sudah mulai berdatangan dan kamar-kamar mulai terisi.
"Tapi tingkat huniannya memang masih jauh dibandingkan sebelum pandemi. Sekarang ini baru sekitar 30 persen terisi. Kalau staycation memang ada, tapi belum banyak. Durasi menginapnya juga masih biasa sekitar 2-3 hari," ungkap Lili pada Liputan6.com, Kamis, 16 Juli 2020.
Menurut Lili, selama ini tamu hotelnya memang lebih banyak dari luar Jakarta, seperti dari Kalimantan dan Sulawesi. "Biasanya tamu kita memang lebih banyak dari daerah, banyak anggota dewan juga, nah mereka sering bikin acara di hotel kita sekalian menginap. Tapi kan sekarang ini belum banyak yang bikin acara, apalagi di luar kota, jadi tingkat hunian kita memang belum banyak," lanjut Lili.
Soal tarif, meski Hotel Santika Premiere menerapkan protokol kesehatan yang cukup ketat dan membeli beberapa alat baru untuk lebih menjamin kebersihan hotel, tarif mereka tidak mengalami kenaikan.
Hal yang hampir senada juga dialami hotel ibis Styles Tanah Abang di Jakarta Pusat. Tamu-tamu sudah mulai berdatangan dan sebagian besar berasal dari Jakarta dan sekitarnya. Namun hal itu belum cukup untuk menarik banyak tamu.
"Staycation memang banyak jadi pilihan tamu kita, tapi jumlahnya belum terlalu banyak. Tingkat hunian kita baru sekitar 40 persen. Itu pun mereka menginap sekitar sehari sampai tiga hari, tergantung kebutuhan mereka. Kebanyakan yang datang tamu loyalty member yang sudah sering menginap juga," jelas Duanita, Marketing Communication ibis Styles Tanah Abang lewat pesan elektronik pada Liputan6.com, Kamis, 16 Juli 2020.
Dengan menerapkan protokol kesehatan dan menambah berbagai fasilitas kebersihan, ibis Styles juga tidak menaikkan rate mereka sampai saat ini. "Rate kita justru lebih murah karena banyaknya promosi untuk menarik orang-orang untuk staycation," sambung Duanita. Lalu bagaimana dengan hotel-hotel BUMN yang tergabung dalam grup Hotel Indonesia Natour (HIN)?
Advertisement
Okupansi 60-70 persen
Pada awal-awal periode pandemi Covid-19 tersebut, okupansi hotel mengalami penurunan secara signifikan dan rata-rata okupansi pada periode tersebut berada pada kisaran sekitar 10 persen.Namun memasuki era new normal, tingkat hunian mereka sudah mulai meningkat dengan cukup baik.
"Kami bersyukur bahwa sejalan dengan pelonggaran kegiatan yang (mulai) dilaksanakan secara bertahap saat ini, maka okupansi hotel-hotel kami secara bertahap juga menunjukkan tren peningkatan, walaupun hal tersebut belum terjadi secara merata. Contohnya hotel kami, Inna Prapat yang berada di dearah wisata Danau Toba, pada periode Lebaran yang lalu memiliki okupansi yang sangat baik hingga 80 persen, dan saat ini pada hari tertentu bahkan telah mencapai 100 persen," terang Iswandi Said, selaku Direktur Utama PT Hotel Indonesia Natour (Persero) lewat pesan elektronik pada Jumat, 17 Juli 2020.
Begitu juga hotel mereka di Bali, Grand Inna Kuta yang menerima tamu ABK, pada April dan Mei yang lalu mencapai okupansi rata-rata sekitar 60 – 70 persen. Sejalan dengan kegiatan kepariwisataan yang mulai dibuka secara bertahap di Yogjakarta;, Grand Inna Malioboro juga mulai menunjukkan terjadinya peningkatan okupansi khususnya di waktu weekend.
Sampai 15 Juli 2020 ini okupansi Inna hotels yang berjumlah 14 hotel yang berada di berbagai kota - Yogyakarta, Surabaya, Padang, Medan, Prapat, Tretes, dan Sukabumi - mencapai rata-rata sebesar 30 persen yang berarti telah mengalami peningkatan dibandingkan di awal pandemi yang berkisar 10 persen.Meski begitu, secara keseluruhan rata-rata masa tinggal para tamu saat ini berkisar sekitar tiga hari.
"Namun ada pola yang berbeda, dimana para tamu yang berada di Bali, karena melakukan kegiatan liburan, mereka menginap antara tiga sampai hingga enam hari. Sementara tamu di hotel yang berada di kota-kota di pulau Jawa dan Sumatera, menginap sekitar satu sampai dua malam," sambung Iswandi.
Untuk tarif juga tidak berubah karena grup HIN juga menawarkan beragan potongan harga. "Program "Book now, stay later" yang kami tawarkan dengan harga yang menarik juga mendapatkan tanggapan yang positif dari local market," lanjut Iswandi.
Mengenai fenomena tersebut, pengamat pariwisata Robert Alexander, mengatakan butuh waktu untuk masyarakat beradaptasi dengan protokol tersebut. Mereka yang mau menginap di hotel masih merasa kurang nyaman atau justru 'terganggu' dengan penerapan protokol kesehatan. Hal itu jadi salah satu penyebab utama masih belum banyak orang yang menginap di hotel.
Harus Jalan Bersama
Menurut pria yang akrab disapa pak Bob ini, di masa transisi seperti sekarang, masyarakat cenderung mengabaikan protokol yang ada seperti jarak sosial, penggunaan masker dan hand sanitizer. Lalu kapan masyarakat siap kembali ke hotel?
"Prosesnya tidak bisa cepat. Saya sudah dapat banyak kabar kalau banyak hotel memang menerapkan protokol kesehatan dengan baik. Sekarang dari masyarakatnya, siapkah mereka mematuhi protokol yang ada? Butuh waktu, berapa lama. Ini yang sulit dijawab. Kalau di bidang bisnis ataupun profesional industri, sudah cukup siap. Tapi untuk konsumen 'leisure' butuh waktu lebih lama," jelas pria yang juga mengajar di Politeknik Sahid ini pada Liputan6.com, Kamis, 16 Juli 2020.
Ia menambahkan, hal itu terjadi karena konsumen wisata punya kecenderungan untuk 'mengabaikan' protokol yang ada. Pihak hotel, diakui Bob, pasti punya banyak cara kreatif untuk bisa menarik pengunjung. Tapi masalahnya, para calon tamu atau konsumen belum tentu suka dengan situasi new normal baru di hotel seperti sekarang ini. Belum banyak yang mau atau bersedia mematuhi peraturan.
"Saya pernah dapat foto itu di WA dari tamu sebuah hotel. Dan dikomentari: 'maunya rileks kok jadi seperti berkunjung di penjara?' Ini merujuk pada pola baru beberapa hotel yang menetapkan aturan yang cukup ketat saat makan di restoran," ujar Bob.
"Namun harus bisnis harus tetap berjalan, jangan tunggu vaksin yang entah kapan. Mungkin enam bulan atau satu tahun lagi. Industri siap, konsumen siap, regulator (pemerintah) siap. Harus jalan bareng, tidak bisa satu pihak saja. Pasti bisa mengakselerasi peningkatan kunjungan," pungkas Bob.
Staycation memang jadi pilihan sebagian orang karena dianggap bisa menjadi pengganti liburan yang lebih realistis. Namun tren tersebut sepertinya belum bisa mengembalikan lagi atau setidaknya mendekati jumlah tamu hotel saat sebelum pandemi.
Advertisement