Sukses

Hilangnya Hotel Mewah Legendaris di Beirut Lebanon

Sebelum ledakan terjadi di Beirut, beberapa waktu lalu, ibu kota Lebanon ini harus rela melepas eksistensi salah satu hotel mewah legendarisnya.

Liputan6.com, Jakarta - Beberapa waktu lalu sebelum ledakan melanda Beirut, Selasa sore, 4 Agustus 2020, ibu kota Lebanon ini terpaksa melepas salah satu hotel legendarisnya. Adalah Le Bristol, hotel yang berhasil melewati masa perang, okupansi, dan krisis politik, namun akhirnya menyerah pada kesulitan ekonomi dan ditutup pada April 2020.

Berlokasi di sudut pertemuan antara Madame Curie Street dan Alfred Nobel Street di kawasan Hamra, hotel ini sempat jadi momumen kemewahan kota. Le Bristol masih disebut sebagai simbol tahun-tahun kejayaan Lebanon.

Melansir laman Sannine Zenith Lebanon, Rabu, 5 Agustus 2020, hampir 70 tahun beroperasi, hotel yang didesain oleh desainer interior Prancis, Jean Royere, akhirnya takluk pada dampak pandemi Covid-19. Dalam masa jayanya, akomodasi ini sempat diinapi tamu-tamu kehormatan, seperti mantan Shah of Iran, Putri Dina bin Abdul-Hamid dari Yordania, juga bangsawan Monako, Pangeran Albert II.

Saat perang pecah pada 1975, Le Bristol tetap membuka pintu demi mengakomodasi koresponden asing dari berbagai negara. April lalu, hotel ini memutuskan untuk menutup pintu mereka selamanya.

"Tragis," kata Joseph Coubat selaku general manager hotel tersebut sejak 2015. "Le Bristol adalah salah satu hotel yang tetap buka selama perang. Selama 42 tahun bekerja di sana, ini kali pertama saya melihat penutupan hotel."

Le Bristol sendiri sebenarnya tercatat sebagai salah satu dari daftar panjang perusahaan yang gulung tikar seiring ekonomi Lebanon kolaps. Sejak awal tahun, ada lebih dari 30 hotel yang dilaporkan tutup.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Harga Mahal yang Harus Dibayar Sektor Pariwisata

Dari ratusan pekerja Le Bristol yang sudah dirumahkan, Beza Hiawi jadi salah satu petugas kebersihan yang tetap bekerja di tim pemeliharaan. Ia mengaku jadi yang pertama menangis saat pihak manajemen memberi tahu kabar penutupan terssebut.

"Kemudian kami semua menangis. Tempat ini sudah seperti rumah," ucapnya.

Hiawi sendiri tiba di Lebanon tujuh tahun lalu dari Ethiopia dan bekerja di Le Bristol sebagai petugas kebersihan. Nasibnya kini tak jelas, kendati tim pemeliharaan disebut bakal tetap dipekerjakan sepanjang tahun ini.

"Lebanon tengah menghadapi beberapa krisis sekaligus," sambung Hiawi, "Kami punya keseimbangan pembayaran yang tak sehat (lebih banyak biaya keluar daripada masuk). Kami juga menghadapi krisis devaluasi dan sektor finansial."

Bahkan sebelum goyah, sistem ekonomi Lebanon telah berimbas besar pada sektor pariwisata. Pihaknya berjuang untuk tetap kompetitif dengan mengandalkan bisnis turis dan diaspora. Seiring sektor produksi tersungkur, ketahanan ekonomi tak lagi bisa bersandar ke pelaku perjalanan bisnis dan turis musiman.