Sukses

Cerita Akhir Pekan: Menakar Efek Jera Sanksi Pelanggaran Protokol Kesehatan

Pemerintah akan memberlakukan sanksi terhadap pelanggar protokol kesehatan. Akankah mereka jera?

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia masih berjuang untuk menekan penyebaran corona Covid-19 yang terjadi di sejumlah daerah. Untuk lebih mengefektifkan upaya itu, pemerintah akan memberlakukan pemberian sanksi kepada para pelanggar protokol kesehatan.

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah mengatakan pemberlakuan sanksi niatnya baik, yaitu mendisiplinkan masyarakat untuk mematuhi protokol kesehatan. Formasi pemberlakuan sanksi tersebut akan melibatkan unsur kepala daerah, TNI, dan Polri.

"Implementasi pemberian sanksi di lapangan tak akan efektif. Pelanggaran protokol kesehatan yang terjadi saat ini karena masalah edukasi kepada masyarakat yang belum masif," ujar Trubus saat dihubungi Liputan6.com, Sabtu, 8 Agustus 2020.

Sanksi yang akan diterapkan bagi pelanggar protokol kesehatan, meliputi sanksi teguran, denda, kerja sosial, dan penghentian atau penutupan usaha. Bagi Trubus, penerapan sanksi tersebut akan membingungkan masyarakat.

"Contohnya tidak memakai masker, itu bukan tindakan kriminal. Itu masalah ketidakdisiplinan saja," tutur Trubus.

Selain itu denda, Trubus mengatakan saat ini berbeda-beda sesuai dengan daerah masing-masing. Di DKI Jakarta denda ditentukan senilai Rp250 ribu, sedangkan di Jawa Barat antara Rp100 ribu hingga Rp150 ribu.

"Itu pun masih banyak orang yang tidak mampu membayar. Pemberlakuan denda, itu justru akan memberatkan masyarakat, apalagi dalam masa pandemi ini," imbuh Trubus juga mengkhawatirkan dengan denda akan digunakan oknum-oknum tertentu untuk memperoleh keuntungan dan tak membuat jera masyarakat. "Karena mereka akan menganggap sanksi denda bisa cincai antara oknum petugas dan pelanggar," katanya.

Sanksi terhadap protokol kesehatan ramai dibicarakan saat Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan para kepala daerah untuk membikin aturan yang memuat kewajiban hingga sanksi kepada pelanggar protokol pencegahan Covid-19. Perintah itu tercantum dalam Inpres Nomor 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease 2019.

Sementara protokol kesehatan yang harus dipatuhi antara lain, menggunakan masker yang menutup hidung dan mulut hingga dagu jika harus keluar rumah atau interaksi dengan orang lain yang tidak diketahui status kesehatannya. Selain itu, membersihkan tangan secara teratur, pembatasan interaksi fisik (physical distancing), dan meningkatkan daya tahan tubuh dengan menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Dilematis

Secara terpisah, pengamat pariwisata dari Universitas Udayana, Nyoman Sukma Arida mengatakan pemberlakuan sanksi terhadap pelanggar protokol kesehatan dalam dunia pariwisata dilematis. Di satu sisi dunia pariwisata sedang menghadapi persoalan karena pengunjung yang belum banyak, di sisi lain ada penerapan sanksi terhadap pelanggar protokol kesehatan.

"Saya kira dilematis ya. Kalau pun sanksi itu diberikan, seharusnya bukan pada wisatawan, tapi pihak pengelola tempat wisatanya. Kalau wisatawan yang kena sanksi, mereka bisa takut untuk berwisata," ujar Nyoman kepada Liputan6.com.

Nyoman berharap sanksi yang diterapkan lebih pada pemberian sanksi yang beredukatif sehingga akan membuat orang lebih disiplin untuk mematuhi protokol kesehatan. Ia mengatakan masalah ini bukan perkara kriminal.

"Bukan menangkap orang yang melanggar protokol kesehatan, kemudian langsung dipidanakan untuk membuat orang jera. Jadi, bisa bersifat teguran yang bersifat lebih mendidik," ujar Nyoman.

Terkait kondisi Bali, sejak dibuka untuk wisatawan domestik, saat ini masih belum banyak orang yang berwisata ke Bali. Mereka masih banyak yang berpikir bahwa kesehatan itu lebih penting daripada liburan. 

"Saat ini lebih banyak wisatawan yang mengunjunagi lokasi-lokasi wisata  itu masih bersifat lokal, masyarakat Bali itu sendiri. Turis domestik, seperti dari Jakarta dan daerah-daerah lain masih belum banyak. Berwisata itu tidak sekadar menyangkut punya uang, tapi juga kenyamanan," kata Nyoman.