Liputan6.com, Jakarta - Pemenuhan standar kecantikan dengan tubuh kurus, berkulit fair, dan berambut lurus sudah seharusnya berstatus sebagai gagasan lawas yang tak perlu dilanggengkan. Lewat gerakan #beBASEkspresi, suara untuk lebih nyaman dengan diri sendiri pun digaungkan label skincare lokal, BASE.
"Gerakan ini dirilis dalam rangka merayakan HUT ke-75 RI. Di bulan kemerdekaan, kami mau lebih banyak perempuan lepas dari perangkap standar kecantikan," kata Cissylia Stefani van Leeuwen selaku Brand Director BASE dalam virtual Media Talks #beBASEkspresi bersama BASE, Kamis, 27 Agustus 2020.
Movement-nya kemudian direfleksikan ke beberapa sosok BASE Friends, sebutan loyal customer BASE, yang datang dengan cerita dan latar belakang berbeda. Salah satunya Emely Florentyna.
Advertisement
Baca Juga
Secara tampilan, Emely adalah kebalikan definisi feminin kebanyakan orang karena potongan rambut pendeknya. "Momen ini bisa dimanfaatkan sebagai breakthru brand lokal untuk seterbuka itu. Jadikan ini titik awal perubahan stigma kecantikan di Indonesia," ucapnya di kesempatan yang sama.
Cerita lain datang dari Angeline Hoseani. Gerakan untuk mendobrak standar kecantikan ini membuatnya yang notabene tak berkulit putih dan tak berambut lurus merasa terwakilkan. Pun dengan Fatimah Amalia.
Perempuan yang berprofesi sebagai dokter umum ini ingin mengubah stigma perempuan berhijab yang selalu kalem. "Di sini saya mau kasih lihat, walau pakai kerudung, kita tetap bisa berekspresi sesuai keinginan," tuturnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Cantik Itu Adalah....
"Cantik itu atraktif, dan atraktif ini bisa didapat kalau perempuan percaya diri dan nyaman dengan diri sendiri," kata Emely mengungkap definisi cantik versinya. Sementara menurut Fatima, cantik adalah soal menerima diri sendiri.
"Standar kecantikan ini membuat banyak orang mau mengubah diri. Padahal, perubahan itu yang jadi masalah. Misal, pakai krim pemutih abal-abal karena mau dapat kulit lebih terang, terus muncul masalah kulit. Padahal sebelum itu kulitnya tidak apa-apa," katanya.
Angeline sendiri mengaku, setahun lalu, ia masih terjebak dalam lingkaran pemenuhan standar kecantikan. "Saya tergantung dengan catokan dan sempat smoothing juga," katanya. Proses penerimaan diri lah yang kemudian melepaskannya dari lingkaran tersebut.
Emely berharap, lebih banyak merek kecantikan menyuarakan semangat keberagaman, seperti BASE. "Lalu, diperhatikan juga kampanye pemasarannya. Jangan selalu pakai muse yang kurus, yang putih. Itu sama saja kasih harapan semu ke orang lain. Karena pas lihat, orang berpikir saat pakai produk tersebut, tampilannya bisa seperti si brand ambassador," tambah Fatimah.
Sedangkan, Angeline berharap bakal lebih banyak produk mengakomodasi kebutuhan kulitnya yang berwarna gelap. "Sekarang masih agak susah dapat shade produk lokal, misal foundation yang sesuai," katanya.
Advertisement
Suarakan Bebas Ekspresi
BASE pun mendorong lebih banyak orang untuk turut dalam gerakan #beBASEkspresi. "Kami mengajak untuk unggah foto, video, atau apa pun yang bisa merepresentasi diri sendiri dengan tagar beBASEkspresi," kata Cissyl.
Di situ, pihaknya mengajak para perempuan buka-bukaan soal insecurity dan bagaimana mengatasinya. "Bisa langsung dicek cerita-ceritanya. Menurut saya lumayan dalam, bagaimana perjuangan mereka bangkit," imbuhnya.
Gerakan untuk menyuarakan keberagaman dan menembus batas-batas standar kecantikan ini, kata Cissyl, tak akan berhenti di sini. Pesannya akan terus disuarakan BASE lewat berbagai cara.
"Kami fokus ke social media dan digital movement karena akar masalahnya sekarang ada di sana. Lihat si A insecure, 'Kok dia cantik banget ya?', terus lihat konten BASE bisa netral lagi," ucapnya.
Sejalan dengan semangat gerakan ini, BASE sendiri punya skin test yang bisa diakses di laman mereka supaya seseorang memahami benar kondisi dan kebutuhan kulitnya. Dari situ, mereka bisa memilih produk skincare yang paling pas.