Sukses

5 Desainer Muda Wakili Indonesia di Ajang Global Talent Digital Rusia

Konsep keberlanjutan dalam industri fesyen bukan lagi nilai tambah, tapi jadi keharusan. Bagaimana desainer Indonesia menampilkannya?

Liputan6.com, Jakarta - Isu keberlanjutan di dunia fesyen terus digaungkan. Semua pemangku kepentingan, khususnya para desainer Indonesia, makin dituntut menciptakan karya yang tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tapi juga ramah bagi lingkungan dan sesama manusia.

Global Talent Digital, proyek fesyen hibrid berskala internasional berbasis di Rusia, bakal jadi panggung bagi lima desainer Indonesia. Mereka akan menampilkan rancangan yang menerapkan konsep keberlanjutan atau sustainability.

Para desainer terpilih adalah Rosie Rahmadi, Gregorius Vici, Aldri Indrayana, Emmy Thee, dan Anggiasari. Kelimanya bakal tampil dalam event yang digelar pada 4--6 September 2020 secara virtual.

Ali Charisma, National Chaiman IFC, mengatakan bahwa kelima desainer memiliki waktu persiapan yang mepet, kurang dari satu bulan. Mereka tak hanya harus mempersiapkan koleksi jadi, tapi juga wajib menyertakan video pendukung.

"Di era digital ini, online runway memerlukan keahlian berbeda dibanding waktu offline," kata Ali dalam jumpa pers yang digelar Kamis, 27 Agustus 2020.

Ia mengatakan, konsep keberlanjutan di industri fesyen dalam jangka pendek bisa dianggap sebagai nilai tambah. Namun ke depan, elemen itu adalah keharusan karena tren global mengarah ke sana. Banyak ajang pergeralan busana internasional yang hanya bisa diikuti oleh mereka yang produknya mengadopsi konsep tersebut.

"Di Eropa, sustainable bukan lagi persyaratan, tapi kebiasaan. Akan susah bagi kita dapat buyer di luar negeri (kalau mengabaikannya)," kata Ali lagi.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 3 halaman

Detail Tema

Meski sama-sama mengusung konsep keberlanjutan, pola pendekatan yang dilakukan masing-masing desainer ternyata berbeda. Emmy Thee yang mengangkat tema Changes dalam koleksinya nanti, menggunakan potongan kain persegi yang sama untuk menghasilkan tiga look berbeda.

Kain wastra dipilih sebagai wujud pemeliharaan budaya sekaligus menjaga kelangsungan karya agar usaha pengrajin bisa terus langgeng. Sementara, pewarnaan menggunakan bahan alami agar lebih ramah bagi lingkungan.

"Saya memperkenalkan konsep upcycle. Misal, dia beli rok, setelah bosan, dia dapat mengembalikannya pada kami dan bisa kami ubah jadi outerwear. Kalau bosan lagi, dia bisa kirim kembali, kami ubah jadi dress. Dengan cara ini, bisa meniminalisir penggunaan bahan," jelas Emmy.

Sementara, Rosie Rahmadi bakal mengusung koleksi Kalopsia yang terinspirasi dari boneka kertas. Dari item dasar yang dipakai, bisa menghasilkan beberapa tampilan berbeda. Dengan begitu, konsumen tak perlu berlebihan membeli pakaian. Yang diperlukan adalah kreativitas memadupadankannya.

"Dengan multifunction ini, ciptakan gaya baru lagi sehingga masa pakainya lebih lama," ujar Rosie.

Gregorius Visi menggunakan pendekatan lain lagi dalam koleksi berjudul Alluring Heritage. Ia mengolah limbah kain batik yang biasanya diangkut para tukang becak untuk jadi bahan utama dalam semua tampilan. Menggunakan teknik patchwork, terciptalah kain-kain baru yang bisa dimanfaatkan membuat busana baru.

"Tujuan kami adalah merangkul pedangang kain perca sebagai bentuk kepedulian terhadap keberlangsungan hidup dan pemberdayaan manusia secara luas," kata Visi.

3 dari 3 halaman

Kolaborasi

Berikutnya adalah Anggiasari. Desainer berbasis di Bandung itu mengangkat tema Valiance yang bisa diartikan sebagai kekuatan atau keberanian. Warna-warna gelap mendominasi dalam koleksi ini, seperti hitam, biru tua, burgundi, dan hijau.

Anggia mengaku bekerja sama dengan perusahaan garmen denim untuk memperoleh bahan baku koleksinya. Produk denim yang dianggap cacat, reject, dan tak laku di pasaran, didaur ulang, lalu dikombinasikan dengan kain tenun tradisional, dalam hal ini tenun bedog.

"Kami memakai dekonstruksi style. Koleksi ini uniseks, bisa dipakai cowok dan cewek," katanya.

Terakhir adalah koleksi Facade yang diangkat Aldre Indrayana. Ia berkolaborasi dengan Cota Cota untuk menciptakan pola yang terinspirasi dari kondisi manusia dan media sosial.

Desainer asal Surabaya itu mengaku item utama dalam koleksi tersebut berwujud neckerchief yang terbuat dari jilbab tidak terpakai lagi. Daur ulang juga dilakukan pada pemanfaatkan kotak sepatu bekas untuk mencap motif batiknya ke garmen yang dipakai.

"Kita biasa out of the box dan avant garde, tapi ini more commercial than my original idea," ucapnya.