Sukses

Ironi dalam Tradisi Pesta Pernikahan Kalangan Kaya India

Pesta pernikahan disebut menyumbang sekitar 10--20 persen sampah makanan setiap tahun di India.

Liputan6.com, Jakarta - Demi momen terbaik, apapun dilakukan. Begitu pula saat pernikahan digelar oleh keluarga kaya di India. Mereka tak segan mengeluarkan dana besar untuk menciptakan pernikahan mewah, termasuk menghidangkan banyak makanan yang cenderung berlebihan, demi menjamu para tamu dan prestise.

Pernikahan Akash Ambani yang digelar pada tahun lalu bisa menjadi contoh. Dalam resepsi putra orang terkaya di India, Mukesh Ambani, itu, meja-meja diisi penuh dengan beragam hidangan yang disiapkan sepasukan koki.

Keluarga itu juga tak segan mengimpor burrata segar, ricotta, asparagus, dan jamur truffle hitam langsung dari Italia, sekaligus mendatangkan chef dari sana. Sementara, makanan penutup disiapkan oleh toko roti mewah Laduree yang dimiliki miliuner Francis Holder.

Tradisi menggelar pernikahan mewah dengan hidangan melimpah dinilai sebagai ekses dari film-film Bollywood. Dikutip dari South China Morning Post, Selasa, 8 September 2020, para ahli menyebut Bollywood berperan sebagai pemicu tren pernikahan-pernikahan grande di India yang berujung pada melanggengkan kebiasaan buang-buang makanan. 

Ahli menyebut sekitar 10 juta pernikahan digelaar di India setiap tahun yang berkontribusi signifikan terhadap jumlah sampah makanan yang dihasilkan. Berdasarkan data LSM Feeding India, 10 sampai 20 persen makanan yang disajikan di pernikahan terbuang. Sementara, hasil survei pemerintah memperkirakan 67 juta ton makanan terbuang setiap tahunnya, atau bernilai 14 miliar dolar AS, setara dengan Rp207 triliun.

"Film-film India membuat patokan soal gaya hidup di India, apakah itu terkait pernikahan, perjalanan, atau fesyen," kata Aditi Rathore, seorang perencana pernikahan yang berbasis di Delhi. Ia menambahkan, berlebihan menjadi cara menunjukkan kesuksesan ala India yang baru dengan sistem nilai yang baru. Padahal saat India menganut etos sosialis, hal tersebut jelas tak bisa diterima.

Di sisi lain, negeri berpopulasi hampir 1,4 miliar orang itu masih menghadapi masalah kelaparan. Menurut Laporan Nutrisi Global 2018, sekitar 46 juta anak-anak di India mengalami malnutrisi, sepertiganya bakal tumbuh menjadi manusia kerdil. India juga menduduki ranking 102 dari 117 negara dalam Global Hunger Index 2019.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 2 halaman

Gerakan Menyelamatkan Makanan

Berangkat dari ironi tersebut, sejumlah pihak tergerak untuk mengampanyekan tentang konsumsi secara sadar. Wujud gerakannya beragam, mulai dari komunitas penyedia kulkas untuk orang-orang yang hendak menyumbang makanan bagi yang membutuhkan hingga aplikasi yang mengumpulkan data spot warga kelaparan untuk memfasilitasi donasi agar bisa merata.

Di antara yang terlibat ada Robin Hood Army. Organisasi sukarelawan yang beranggotakan para 'Robin' itu mencolek restoran untuk mengumpulkan sisa makanan, makanan berlebih, ataupun bahan makanan berlebih, seperti adonan sisa, agar bisa digunakan untuk membuat makanan lain. Para Robis, didominasi oleh profesional muda, mengidentifikasi dan mendistribusikan makanan untuk kelompok orang yang membutuhkan, seperti rumah singgah gelandangan dan panti asuhan.

Ada lagi Bank Roti yang dididrikan oleh dabbawallas Mubai yang terkenal di dunia. Organisasi ini telah mengantarkan makan siang bagi para tunawisma di ibu kota keuangan India selama 125 tahun terakhir (dan saat ini melayani sekitar 200.000 orang setiap hari), serta mengumpulkan sisa makanan dari pernikahan untuk memberi makan para tunawisma di kota itu.

Sejumlah restoran, salah satu sumber limbah makanan terbesar di India, juga meluncurkan inisiatif untuk mengontrol sampah makanan secara berkelanjutan. Pengontrol makanan dipekerjakan oleh beberapa restoran, sementara lainnya mengadopsi teknik nol sampah.

"Satu hal penting dari pandemi ini adalah bahwa kita harus menjadi konsumen yang bertanggung jawab. Covid-19 memberikan peringatan," kata Vijay Sethi, Chef Lite Bite Foods, grup FnB yang memiliki 156 restoran di seluruh dunia.

Sementara Plats, restoran pemenang penghargaan dari Eropa yang berbasis di New Delhi itu mengembangkan teknik kuliner inventif untuk menekan produksi sampah. Pasangan chef pemilik restoran, Hanisha Singh dan Jamsheed Bhote, menerangkan mereka menggunakan kulit buah dan sayur untuk membuat cuka atau kombucha, sejenis minuman fermentasi, yang tinggi kandungan prebiotik.

"Pepache (kombucha nanas) kami yang popular, contohnya, dibuat dari kulit nanas yang dibeli dari vendor yang hendak membuangnya. Kulit dan batang sayur didaur ylang untuk memberi aroma pada saus dan sup. Sementara, cangkang udang digunakan untuk membuat minyak udang, dan sebagainya," kata Konsultan Operasi Restoran Plant, Manav Verma.

Restoran juga bekerja sama dengan Robin Hood Army mendonasikan kelebihan makanan mereka bagi yang tak beruntung. "Komunikasi kami kepada para staf sangat jelas, cek sampah di setiap tahapan dan rencanakan menu secara cerdas sehingga satu bahan bisa digunakan untuk beberapa makanan dalam berbagai cara. Dalam lingkungan kerentanan pangan dan tekanan seperti sekaraang, setiap langkah berarti," ujarnya.