Liputan6.com, Jakarta - Problematika dampak krisis iklim kian hari tak luput dari sorotan berbagai pihak. Bertepatan dengan Hari Aksi Sedunia untuk Perubahan Iklim yang diperingati setiap 25 September, Yayasan Indonesia Cerah dan Change.org Indonesia merilis hasil survei daring terkait hal tersebut.
Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia Cerah Adhityani Putri menyebut, dalam kegiatan sebagai nirlaba yang memiliki agenda untuk mewartakan transisi energi dalam konteks perubahan iklim, pihaknya kerap dihadapkan dengan asumsi orang Indonesia tidak peduli krisis iklim. Berawal dari hal itu, Cerah ingin menggali lebih dalam lewat survei.
"Yang disurvei kelompok anak muda aktif dan ini bukan merupakan refleksi dari populasi Indonesia keseluruhan, tapi kami rasa ini modal yang baik karena anak muda aktif ini yang akan menjadi lokomotif dari apapun upaya yang ingin kita lakukan untuk menaikkan awareness soal pentingnya krisis iklim," kata Adhityani dalam konferensi pers daring, Jumat (25/9/2020).
Advertisement
Baca Juga
Adhityani melanjutkan, ada lebih dari delapan ribu orang yang merespons survei yang berlangsung selama dua bulan dengan responden yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia. Yang paling banyak merespons adalah mereka yang berusia 21--30 tahun.
"88 persen menyatakan mereka sangat khawatir terhadap dampak-dampak krisis iklim. Ini merupakan angka yang menarik, berarti 88 persen dari 8 ribu itu cukup tinggi," lanjutnya.
Adapun persentase ini adalah gabungan antara mereka yang khawatir dan sangat khawatir akan dampak krisis iklim. Hanya 0,6 persen dari responden yang tidak khawatir dan ada satu persen yang tidak tahu atau tidak percaya, di mana berdasarkan jumlah responden ini berarti hanya lima orang yang tidak percaya.
"Karena berada di krisis Covid-19 yang mendominasi kehidupan kita, sekarang kita mencoba mengaitkan satu pertanyaan dengan Covid-19, karena banyak sekali narasi yang bermunculan yang berusaha menunjukkan Covid-19 ini ada kaitan dengan dampak manusia terhadap alam," jelas Adhityani.
Dikatakan dia, hasil survei menunjukkan 97 persen responden setuju dampak krisis iklim dapat lebih parah atau sama parahnya dengan dampak Covid-19. "Mayoritas warga muda aktif yaitu 65 persen merasa dampak krisis iklim lebih parah dari wabah Covid-19, sedangkan 32 persen lainnya merasa dampak krisis iklim setidaknya akan sama dengan dampak Covid-19," ungkapnya.
Terkait andil manusia dalam krisis iklim, disebutkan tiga dari lima yang disurvei berpendapat krisis iklim adalah ulah manusia. "Jadi sesuai dengan kesimpulan IPCC, ini menunjukkan pemahaman yang baik," katanya.
"Kami juga mencoba melihat dampak yang dikhawatirkan karena kita memberi pilihan banyak, sebenarnya kita hanya ingin menjaring dari semua pilih, apakah ada awareness krisis iklim punya dampak yang begitu banyak dan berdampak pada banyak sektor dan aspek kehidupan," tambahnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Dampak yang Dikhawatirkan hingga Solusi
Ada 15 persen yang menyatakan dampak yang dikhawatirkan adalah adanya krisis sumber air bersih, lalu krisis pangan karena gagal panen, dan munculnya penyakit dan wabah-wabah mematikan baru. Kecuali dua hal, yakni banjir bandang dan badai dan angin topan yang sering terjadi muncul di posisi terbawah.
"Padahal banjir bandang, kalau misalnya di Jakarta akibat rob, badai dan angin topan yang semakin sering mungkin di banyak kawasan pesisir dan kepulauan itu sebenarnya lebih sering terjadi, diliput di media atau bahkan dirasakan langsung, tetapi tenyata korelasi fenomena alam dan cuaca ekstrem ini dengan perubahan iklim kelihatan masih rendah di benak anak-anak muda," jelas Adhityani.
Survei selanjutnya juga soal apa yang dianggap sebagai solusi terbaik guna menekan krisis iklim. Ada 28 persen yang menyebut menghentikan penebangan dan pembakaran hutan dan lahan, kedua, mengakhiri ketergantungan energi fosil dan memulai EBT, dan ketiga 19 persen memulai perilaku hidup ramah lingkungan.
"Yang pertama dan kedua bagi kami, respons yang menggembirakan karena berarti ada pemahaman bahwa memang harus ada perubahan-perubahan besar dan sifatnya sistemik. Solusi yang kita survei, untuk energi bersih karena Cerah bergerak di bergerak di isu transisi energi, kita coba mendalami dengan beberapa pertanyaan tambahan," ungkapnya.
Disebutkan Adhityani, anak muda Indonesia paham energi bersih berlimpah di Indonesia, ada 70 persen menjawab demikian. Terkait survei mana yang paling potensial, 28 persen menjawab matahari, 20 persen menjawab air, 16 persen angin, 15 persen gelombang laut, 14 persen panas bumi, dan enam persen bio massa.
Kinerja pemerintah dinilai sebagai hambatan terbesar dalam penanganan krisis iklim 63 persen, diikuti dengan kurangnya kesadaran publik, yakni 24 persen. Lalu, kondisi ekonomi dan harga energi bersih yang masih mahal dinilai sebagai hambatan terkecil, yakni 13 persen.
Advertisement