Liputan6.com, Jakarta - Di masa pandemi COVID-19, angka perceraian di Indonesia tercatat semakin meningkat. Faktor yang melatarbelakanginya pun beragam, termasuk permasalahan ekonomi di tengah situasi krisis.
Tak dapat dipungkiri bahwa terdampaknya sektor bisnis berujung PHK massal berimbas pada kehidupan masyarakat, terutama mereka yang berkeluarga. Kendati krusial, faktor ekonomi ternyata bukanlah penyebab utama perceraian.
Advertisement
Baca Juga
Menurut psikolog Analisa Widyaningrum, dikutip dari kanal YouTube Analisa Channel, Rabu, 30 September 2020, terkadang tiap seseorang tak siap atau tak terbiasa berada di rumah selama 24 jam penuh bersama pasangan. Intensitas ini bisa saja membuat mereka menemukan sisi lain dari pasangan yang ternyata tak membuat nyaman.
Menurut Analisa, keberadaan pasangan di rumah seharian penuh, sedikit-banyak dapat memengaruhi sisi emosional seseorang. Misal, tak lagi dapat menjalankan aktivitas yang disukai. Bisa juga stres pekerjaan yang tanpa disadari dilampiaskan pada pasangan yang setiap hari ditemui di rumah. Faktor-faktor inilah yang didaulat jadi penyebab perceraian di tengah kondisi pandemi.
Meski perceraian memang diperbolehkan secara hukum, setiap pasangan tentu akan berusaha semaksimal mungkin mempertahankan rumah tangga mereka. Agar dapat mempertahankan pernikahan dan memperkuat hubungan dengan pasangan di saat krisis, berikut beberapa tips dari Analisa.
1. Ingat Kembali Tujuan Utama Menikah
Coba diingat kembali apa alasan awal yang membuat Anda dan pasangan memutuskan untuk menikah. Jangan sampai menikah dijadikan solusi untuk keluar dari suatu masalah. Misal, karena tak tahan dengan nyinyiran keluarga atau kerabat yang selalu menanyakan, "Kapan menikah?”, atau sekadar ingin keluar dari masalah finansial.
Menikah berarti memulai lembaran baru dalam kehidupan, yang sebenarnya berpotensi menimbulkan masalah baru juga. Jadi, jika berpikir bahwa menikah hanya untuk memperoleh kekuatan finansial, anggapan itu jelas keliru. Pasalnya, ketika status finansial setelah menikah tak sesuai ekspektasi, bisa saja Anda dengan mudah memutuskan bercerai dan menikah lagi dengan orang lain tanpa menghargai nilai ikatan tersebut.
Ingatlah bahwa jangan pernah membawa tuntutan hidup atau menggantungkan hidup pada orang lain. Oleh karena itu, penting untuk meluruskan cara Anda berpikir dan niat utama sebelum menikah, apakah benar untuk ibadah atau sekadar untuk menyelesaikan masalah hidup.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
2. Jangan Saling Menyalahkan
Saat perceraian terjadi, baik suami maupun istri, sama-sama memiliki andil besar atas kegagalan rumah tangga. Bahkan, ketika terjadi perselingkuhan, pasti ada alasan pasangan melakukan hal tersebut. Anda juga mungkin saja memiliki kesalahan yang tidak disadari.
Berbagai permasalahan rumah tangga, seperti KDRT, pasangan selingkuh, atau pasangan masuk penjara, semuanya tak bisa dituduh sebagai kesalahan satu pihak. Pada dasarnya, kedua belah pihak bertanggung jawab atas kesalahan yang terjadi di antara mereka. Jangan pernah menyalahkan pasangan 100 persen, ingat bahwa hidup Anda adalah tanggung jawab Anda sendiri.
3. Kenali Kebutuhan Anda
Jangan sampai Anda kehilangan waktu dengan diri sendiri setelah menikah. Ketika sudah mendedikasikan diri sebagai pasangan atau orangtua yang baik, jangan lupa untuk mengisi kembali energi Anda.
Jika tak pernah mengisi energi Anda kembali, jangan salahkan orang lain jika merasa ada kosong dalam diri Anda. Penting untuk menyadari apa yang ingin dilakukan saat berperan sebagai istri atau suami, dan sebagai orangtua, sehingga Anda tidak perlu menggantungkan kebahagiaan pada orang lain. Penuhi diri Anda terlebih dulu, maka Anda akan memenuhi orang lain.
Advertisement
4. Jangan Menuntut Pasangan Tanpa Berkontribusi
Anda tidak akan pernah bisa menuntut pasangan, jika tidak ikut berkontribusi memenuhi harapannya. Pasangan seharusnya bersifat saling mengisi. Jangan pernah menganggap pasangan selalu harus sempurna, sebaliknya jadilah penyempurna dalam kekurangannya, karena itulah tugas Anda sebagai pasangan.
Setiap ada perbedaan atau keributan dalam rumah tangga, Anda tak berhak meminta pasangan untuk selalu mengalah dan minta maaf. Memperbaiki hubungan dan membangun keluarga yang harmonis harus dilakukan secara beriringan.
5. Mengasuh Anak adalah Tugas Bersama
Merawat, membesarkan, dan mendidik anak adalah tugas ayah dan ibu, tidak bisa hanya dibebankan pada salah satu pihak. Jika ada tuntutan peran atau tugas sepihak dalam membesarkan anak, ekspektasi dari tuntutan yang tak terpenuhi di masa depan dapat jadi sumber stres dalam rumah tangga.
Jadi orangtua adalah tugas bersama, tapi porsi atau tanggung jawabnya mungkin saja berbeda, seperti bagi seorang ibu rumah tangga yang kesehariannya di rumah. Meskipun demikian, sebagai seorang ayah, Anda juga tidak seharusnya lepas andil dalam mengasuh dan mendidik anak.
6. Perlunya Komunikasi terbuka
Memang tidak mudah untuk selalu terbuka tentang segala hal dengan pasangan. Tapi, saat rumah tangga sudah didasari oleh ketidakpercayaan, akan selalu muncul rasa tidak nyaman, curiga, atau takut. Maka dari itu, sebelum memutuskan berbohong pada pasangan, perlu dipikir matang-matang bagaimana satu kebohongan itu dapat melahirkan dusta lainnya di masa depan.
Jika memang harus menyembunyikan sesuatu dari pasangan atau yang dikenal dengan istilah white lies, pastikan Anda segera menceritakannya pada saat yang tepat agar terlepas dari bohong berkepanjutan. Komunikasi terbuka membantu Anda dan pasangan lebih mudah berkompromi tentang banyak hal dalam rumah tangga.
“Marriage is a beautiful mess,” ungkap Analisa. Tak akan ada pernikahan yang sempurna, tugas Anda sebagai pasangan adalah menyempurnakan pernikahan itu sendiri.
Jangan pula selalu membandingkan pernikahan Anda dengan teman atau kerabat, karena pada dasarnya setiap pasangan memiliki kisahnya tersendiri. Menurutnya, segala hal yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga patut disyukuri karena bisa saja masalah Anda adalah jawaban dari doa Anda sebelumnya. (Brigitta Valencia Bellion)
Advertisement