Liputan6.com, Jakarta – Pada Asia Land Forum 2020, organisasi anggota International Land Coalition Asia (ILC Asia) menyuarakan perjuangan masyarakat petani kecil, masyarakat adat, dan petani perempuan diantaranya dalam memitigasi dampak pandemi COVID-19. Forum yang diselenggarakan secara virtual oleh ILC Asia dari 6 Oktober hingga 8 Oktober ini dihadiri sekitar 200 peserta dari 54 organisasi anggota di 13 negara.
Asia Land Forum (ALF) merupakan acara tahunan yang, mempertemukan anggota ILC di kawasan tersebut bersama dengan pemangku kepentingan lainnya; mulai dari organisasi akar rumput, aktivis sosial, LSM, dan instansi pemerintah dari tiap-tiap negara wilayah.
ALF bertujuan untuk mengembangkan kesamaan antara hubungan politik, ekonomi, lingkungan dan sosial serta keterkaitannya dengan tata kelola lahan, ketahanan pangan, kemiskinan dan demokrasi. Tema tahun ini adalah mengenai peran masyarakat dan keluarga petani dalam mengamankan sistem pangan.
Advertisement
Konferensi regional yang diselenggarakan pada dua hari pertama (6-7 Oktober) merupakan kolaborasi ILC Asia dengan grup anggotanya, People's Campaign for Agrarian Reform Network (AR Now!) and the Asian Farmers’ Association for Sustainable Rural Development (AFA). Sebagian besar topik dari rangkaian konferensi ini membahas situasi, tantangan dan peluang petani kecil di Asia saat ini, serta kontribusi mereka dalam upaya pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Baca Juga
Hari ini, konferensi berlanjut dengan diskusi tematik tentang dampak pandemi COVID-19 pada pengguna lahan lokal dan masyarakat untuk memiliki, mengontrol, dan mengelola tanah serta sumber daya alam di wilayahnya. Saurlin Siagian selaku Koordinator Regional ILC Asia di Indonesia menyampaikan, “Bagaimana COVID-19 memengaruhi mereka yang bekerja di lahan, mungkin sulit dimengerti bagi sebagian dari kita.
Tetapi disisi lain lahan memberikan keamanan, produktivitas, dan peluang, dan telah menjadi instrumen penting untuk melindungi kelompok yang paling rentan dalam menghadapi pandemi. Di dalam kondisi yang belum pernah terjadi sebelumnya seperti ini, kita diingatkan akan pentingnya solidaritas kawasan untuk merespon dampak langsung dari krisis pandemi. Pemerintah harus bekerja bahu membahu dengan masyarakat sipil dan berjuang untuk dunia yang lebih berkelanjutan untuk semua”.
Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), meski masyarakat petani di Asia memproduksi sebagian besar pangan dunia, mereka tetap tidak memiliki kontrol atas keamanan tenurial dan ketahanan pangan. Selain itu, kebijakan pemerintah untuk memastikan ketahanan pangan di masa COVID-19 cenderung parsial, karena dianggap gagal memperhitungkan peran kunci yang dimainkan masyarakat petani untuk mempromosikan sistem pangan yang berkelanjutan, tangguh, dan beragam.
Anthony Marzan dari People's Campaign for Agrarian Reform Network (AR Now!) di Filipina pun menyampaikan, “Kami menyerukan kepada pemerintah-pemerintah di Asia untuk menanggapi kebutuhan ini melalui kebijakan dan program di bawah Rencana Aksi Nasional mereka yang akan memperkuat sistem pertanian yang berkelanjutan guna mendukung pendekatan multi-pemangku kepentingan yang inklusif, yang memprioritaskan mata pencaharian masyarakat petani kecil”.
Mengamankan hak atas tanah dan sumber daya alam bagi para petani tak bertanah pada dasarnya lebih relevan sekarang dari sebelumnya, dengan tujuan untuk membangun kembali dengan lebih baik. Inisiatif yang dipimpin oleh ILC Asia telah memainkan peran penting dalam mitigasi krisis dengan memberikan bantuan kemanusiaan kepada masyarakat lokal, mendistribusikan paket makanan pokok, dan meningkatkan kesadaran akan tindakan perlindungan.
Diskusi hari ini dibingkai dalam konteks membangun sistem pangan yang berkelanjutan, tangguh dan inklusif. Rangkaian kegiatan hari ini juga membuka ruang diskusi untuk menyoroti tanggapan anggota ILC Asia terhadap pandemi.
Sesi pertama tentang meningkatnya gelombang perampasan tanah di Asia saat lockdown akibat pandemi, Ferry Widodo dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) di Indonesia menekankan bahwa reformasi kebijakan yang lebih kuat harus dilaksanakan dari skala daerah hingga nasional untuk mengurangi konflik lahan di wilayah.
“Sampai saat ini, perusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia belum mengungkapkan resolusi kepada masyarakat dan keluarga petani secara terbuka, sehingga kita perlu melakukan tindakan untuk melawan isu perampasan tanah yang kini terjadi”, beliau menjelaskan.
Pada sesi kedua yang membahas peran komunitas pastoral atau peternak yang nomaden, juga masyarakat adat dalam mengedepankan sistem pangan yang tangguh, Dinesh Rabari dari MARAG India menekankan, “Kita perlu mengakui peran komunitas pastoral yang esensial untuk memenuhi ketahanan pangan karena mereka juga merupakan produsen makanan kita.
Ketahanan pangan hanya akan dapat dicapai ketika komunitas pastoral dapat diperbolehkan untuk menjalankan gaya hidup nomaden mereka dan dilindungi oleh pemerintah India.” Kaum peternak dan pastoral di negara-negara Asia Selatan seperti India seringkali disalahkan karena menyumbang emisi karbon melalui gas metana dari ternak.
Melalui Asia Land Forum 2020, ILC berkomitmen untuk menghasilkan dan mengembangkan rencana aksi dan inisiatif di antara anggota dan pemangku kepentingan untuk melindungi para pembela hak atas tanah guna mencapai sistem pangan yang lebih berkelanjutan, tangguh dan inklusif.