Liputan6.com, Jakarta - Perhutanan Sosial masuk dalam Undang-Undang (UU) Cipta Kerja atau Omnibus Law. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), hal ini merupakan wujud nyata keberpihakan pemerintah pada masyarakat.
Selama ini, program Perhutanan Sosial diklaim terbukti memberi kepastian hukum dan meningkatkan perekonomian masyarakat desa hutan. Perhutanan sosial sendiri adalah program legal yang membuat masyarakat bisa ikut mengelola hutan dan mendapatkan manfaat ekonomi dari sana. Program ini dipercaya menepis ketakutan banyak orang yang menghadapi kesulitan ketika ingin memanfaatkan area hutan di sekitar tempat tinggal mereka.
Pelaku Perhutanan Sosial adalah kesatuan masyarakat secara sosial yang terdiri dari warga Indonesia yang tinggal di kawasan hutan, atau di dalam kawasan hutan negara. Keabsahan kelompok ini dibuktikan lewat Kartu Tanda Penduduk (KTP), memiliki komunitas sosial berupa riwayat penggarapan kawasan hutan dan tergantung pada hutan, serta aktivitasnya dapat berpengaruh terhadap ekosistem hutan.
Advertisement
Baca Juga
"Di masa pandemi Covid-19, Perhutanan Sosial mampu memulihkan perekonomian masyarakat. Banyak produk terkait Perhutanan Sosial jadi roda penggerak ekonomi masyarakat yang memanfaatkan program Perhutanan Sosial," terang Sekjen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Bambang Hendroyono, dalam webinar Bincang Undang-undang: Atasi Kesenjangan Multi Tafsir; Tema Hutan Sosial untuk Lapangan Kerja dan Keadilan, Senin, 12 Oktober 2020.
Bambang menegaskan, UU Cipta Kerja ini memberikan kepastian hukum pada masyarakat yang berada di sekitar hutan dan kawasan hutan melalui akses legal. Kepastian hukum yang dimaksud diklaim membuat tak adanya kriminalisasi pada petani kecil atau masyarakat adat.
Sebelumnya, lanjut Bambang, UU pengaturnya cukup kejam, bahkan istilahnya, dulu di hutan konservasi, “ranting tak boleh patah, nyamuk tak boleh mati." Petani yang tak mengerti, tak sengaja melakukan kegiatan di dalam hutan, bahkan sebetulnya mereka sudah berumah di hutan, bisa langsung berhadapan dengan hukum. Penegakan hukum bagi perusak lingkungan juga semakin jelas, tegas, dan terukur.
Dari aspek kepastian hukum itu, Bambang menjelaskan, masyarakat yang sudah memiliki izin dan akses pengelolaan hutan dalam program Perhutanan Sosial akan dibantu dalam bentuk sarana produksi, pendampingan, bibit pohon, serta peralatan produksi. Pemerintah menjanjikan pula pelatihan-pelatihan untuk mempercepat produksi.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Akses Pemanfaatan Hutan
Perhutanan Sosial dijelaskan mulai berjalan sejak 2015 lalu. Awalnya, program ini digagas karena adanya ketidakadilan akses pemanfaatan hutan.
Menurut Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK, Bambang Supriyanto, sampai 30 September 2020, realisasi perhutanan sosial telah mencapai 4,2 juta hektare. Ia merinci 4,2 juta hektare Perhutanan Sosial ini dimanfaatkan kurang lebih 870.746 kartu keluarga yang tersebar di 6.673 lokasi.
Ia optimistis UU Cipta Kerja akan mengakselerasi realisasi program Perhutanan Sosial. "Dengan payung UU Cipta Kerja nanti aksesnya akan lebih cepat lagi," ucapnya.
Bentuk akselerasi yang akan dilakukan KLHK di antaranya melalui kerja sama dengan gubernur guna mempercepat realisasi program tersebut serta pendampingan untuk meningkatkan sumber daya manusia pengelola Perhutanan Sosial. Menurut RUU Cipta Kerja dari Rapat Paripurna di DPR, Pasal 29A mengatur perhutanan sosial sebagai pemanfaatan hutan lindung dan hutan produksi.
Pemanfaatan hutan yang dimaksud mengacu pada Pasal 26 dan Pasal 28, yaitu berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, serta pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Pasal 29B menyebut bahwa pemanfaatan dan kegiatan perhutanan sosial dilakukan menggunakan perizinan berusaha. Namun, ketentuannya akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah, artinya tidak sama dengan perizinan berusaha untuk perusahaan.
Advertisement
Tanggapan dan Sikap Walhi
RUU Cipta Kerja banyak ditolak berbagai pihak yang memicu demo di berbagai daerah di Indonesia. Namun, apakah Perhutanan Sosial yang masuk dalam Omnibus Law jadi wujud nyata keberpihakan pemerintah pada masyarakat? Menurut pihak Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), mereka menolak Omnibus Law secara prinsipil.
"Soal ada pasal 29 , yang menyebutkan Perhutanan Sosial dalam kawasan hutan, kan dari dulu memang begitu. Perhutanan Sosial memang dalam kawasan hutan sesuai syarat dan ketentuan berlaku. Persoalannya, ancaman tutupan kawasan hutannya yang mengecil dan KLHK membiarkan Omnibus Law lolos," ujar Manajer Kampanye Air, pangan, Ekosistem Esensial, Eksekutif Nasional Walhi, Wahyu Perdana, saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (13/10/2020).
"Soal luas kawasan hutan minimal 30 persen dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional. (pasal 18 ayat 2 UU Kehutanan) di Omnibus Law malah dihapus," lanjutnya.
Wahyu menambahkan, pasal 19 ayat 2 juga dihapus dari UU Kehutanan. Perubahan peruntukan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis, ditetapkan oleh Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
"Poin kami, akan ada di mana wilayah Perhutanan Sosial jika semuanya diperlonggar. Dalam konferensi pers para menteri, Menter LHK justru bicara soal "pemutihan perkebunan sawit" dalam kawasan hutan. Padahal, dalam catatan BPK, 2,7 hektare sawit berada dalam kawasan hutan secara tidak sah. Jadi persoalannya hambatan Perhutanan Sosial muncul dari lahirnya Omnibus Law," terang Wahyu.
Pernasalahan lainnya, secara umum larangan penebangan pohon, termasuk penebangan pohon di areal tertentu seperti tepian danau dan sungai, hingga perbuatan yang patut diduga mengarah pada pengangkutan hasil hutan tanpa izin seperti membawa alat-alat berat ke dalam kawasan hutan, dihapus dan tidak lagi menjadi larangan yang dapat dipidana.
Penghapusan pengecualian larangan membakar ini berpotensi mengkriminalisasikan masyarakat peladang tradisional, karena Pasal 108 UU 32/2009 masih berlaku. Selain itu berpotensi memindahkan beban pertanggungjawaban hukum dari korporasi pembakar hutan (yang banyak digugat oleh KLHK) kepada peladang tradisional.
Wahyu juga menyoroti penghapusan pengecualian larangan membakar hutan yang berpotensi mengkriminalisasikan masyarakat peladang tradisional, karena Pasal 108 UU 32/2009 masih berlaku. "Selain itu berpotensi memindahkan beban pertanggungjawaban hukum dari korporasi pembakar hutan (yang banyak digugat oleh KLHK) kepada peladang tradisional," pungkasnya.