Sukses

Kisah Hidup Desainer Palestina yang Berhasil Tarik Perhatian Vogue

Bukan tanpa alasan desainer Palestina, Meera Adnan, memilih busana berpotongan longgar khas tahun 80-an.

Liputan6.com, Jakarta - Adalah Meera Adnan, model sekaligus desainer asal Gaza, Palestina yang punya selera tersendiri dalam memilih, sekaligus merancang busana. Di banyak kesempatan, perempuan 27 tahun ini nyaman dengan pakaian-pakaian longgar khas era 80-an.

Ia dilaporkan menyukai pakaian simpel dengan siluet tebal, ditambah tas Fendi dan topi ember keluaran Prada. Tak pelak, nuansa retro bercampur sentuhan modern di sana-sini jadi definisi besar look-nya.

Preferensi tersebut nyatanya berasal dari cerita pribadi Adnan. Ia merupakan perempuan dengan tubuh susah gemuk, bahkan sampai dewasa. Dari situ, busana yang Adnan pakai sering dibilang tak selaras dengan lekuk tubuhnya.

Masyarakat di Gaza, terutama perempuan seusianya, selalu mengenakan pakaian sesuai lekuk tubuh. Sebagai perempuan dewasa, postur sang desainer sering dibilang mirip tubuh anak-anak. Hal itu memicu Adnan lebih nyaman berpakaian longgar.

"Ketika masih di perguruan tinggi, saya biasa mengenakan pakaian longgar karena itu memberi saya kebebasan, sambil menyembunyikan tubuh saya dari standar kebanyakan orang," kata Adnan, melansir Vogue, Selasa, 13 Oktober 2020.

Adnan dibesarkan di Arab Saudi dan datang ke Palestina saat berusia 12 tahun. Kakek-neneknya tak berasal dari Gaza, melainkan Midreshet Ben-Gurion Israel, sementara orangtuanya lahir di kemah pengungsian Gaza.

Adnan menjelaskan, inspirasi busana rancangannya berasal dari album foto keluarga pada 1970--1980-an. Ketika melihat pria mengenakan celana merah muda, biru, dan hijau, wanita berksperimen dengan gaya rambut. Hal itu memicu Adnan menciptakan kembali mode yang sudah pudar di era modern.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Merepresentasi Identitas Tempat Asal

Awalnya, Meera Adnan mengaku tak pernah berpikir jadi desainer. Ia memilih jurusan akuntansi ssaat menempuh pendidikan tinggi. Perlahan, ia baru mengetahui arti fesyen dalam sudut pandang baru. Ia menganggap mode sebagai medium berekspresi tanpa harus berbicara.

"Itu sedikit melegakan karena saya selalu benci betapa masyarakat menempatkan seseorang dalam kotak tertentu sebagai wanita, bahkan sebagai pria," tutur Adnan.

Meski koleksi Adnan secara fesyen dan perlengkapan bersifat internasional, ia merancang semua karyanya di Gaza. Lewat desain busana tersebut, Adnan berusaha menjelaskan perspektif tempat tinggalnya. "Saya ingin merek saya beridentitas lekat dengan dari mana saya berasal," tuturnya.

Ia memahami orang-orang di Gaza punya keyakinan tersendiri. Ketika berkaca pada generasi lebih muda, Adnan melihat teman-temannya punya mentalitas beragam, dan melakukan beberapa hal berbeda.

Adnan mendapat semua material busananya dari luar negeri. Namun, saat ini hampir tak mungkin menerima dan mengirim barang dari Gaza karena penutupan perbatasan. Bahkan, paket pos yang sederhana saja sangat sulit masuk ke Gaza. Sebagai solusi, ia hanya bisa membawa sampel kain secara fisik.

"Saya ingin menunjukkan bahwa kami punya sejarah yang kaya dan kreativitas dalam berkarya," kata Adnan. (Vriskey Herdiyani)