Liputan6.com, Jakarta - Pandemi datang bersama perubahan kebiasaan hampir di setiap sendi kehidupan. Bentuk adaptasinya tak jarang harus sebegitu ekstrem demi bertahan di masa krisis kesehatan global, sebagaimana dilakukan sederet waralaba restoran raksasa.
Meninggalkan 'nyaman' berjual di gerai, mengingat kebijakan dine-in dan pengunjung mal yang merosot selama pandemi, merek-merek ini banting setir menjajakan produknya di pinggir jalan. Ada yang sengaja membuka semacam lapak sederhana, tapi ada juga yang semata keluar berjualan di pinggir jalan di depan outlet.
Beberapa bulan terakhir, khususnya di wilayah Jabodetabek, publik sudah melihat sejumlah waralaba besar, seperti Pizza Hut, Ta Wan, Yoshinoya, dan KFC, berjualan dengan metode berbeda. Menurut peneliti Center for Indonesian Policy Studies, Pingkan Audrine, praktik ini sebenarnya sah-sah saja.
Advertisement
Baca Juga
"Asal tidak mengganggu lalu lintas maupun membahayakan pekerja dan pengendara, terlebih jika masih mematuhi protokol kesehatan," katanya lewat pesan pada Liputan6.com, Kamis, 15 Oktober 2020.
Strategi tersebut, sambungnya, dapat dilihat sebagai bentuk inovasi perusahaan waralaba dalam merespons permintaan pasar yang terdisrupsi akibat pandemi.
Sedangkan menurut peneliti INDEF, Bhima Yudhistira, fenomena waralaba besar turun kelas mengindikasi tekanan penjualan yang begitu besar. Sehingga, tanpa langkah ekstrem, perusahaan bisa terancam pailit alias tutup permanen.
"Mau-tidak mau mereka harus lakukan inovasi dengan berjualan di pinggir jalan layaknya UMKM. Ibaratnya karena selama pandemi, jumlah pengunjung makan di tempat berkurang drastis, sementara biaya operasional terus berjalan, akhirnya strategi yang diambil adalah jemput bola," paparnya melalui pesan, Kamis, 15 Oktober 2020.
Â
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Ciptakan Masalah Baru?
Menurut Bhima, keputusan perusahaan warabala turun ke jalan bisa berpotensi menimbulkan persaingan dengan pelaku UMKM.
"Karena perusahaan besar ini banting harga. Misal, harga pizza (Rp)25 ribu per boks, sementara konsumen berpikir pizza yang dijual warung kecil harganya (Rp)15--20 ribu, misalnya. Nah, ini akan terjadi kanibalisme dengan konsumen UMKM," katanya.
Banting setir cara menjual produk ini, sambung Bhima, pun bisa berdampak pada brand perusahaan tersebut. Pasalnya, masyarakat kelas menengah akan berpikir, "Kok ini jadi jualan di pinggir jalan ya?" padahal brand besar dan internasional.
"Jadi, brand value tentu akan berkurang. Dampak lainnya untuk UMKM karena persaingan jadi semakin ketat karena berebut kue yang sama," ujarnya.
Advertisement
Bisnis di Masa Pandemi
Menurut Pingkan, inovasi dan evaluasi dari inovasi yang dilakukan tanpa mengabaikan keselamatan para pekerja. terutama untuk mereka yang berjualan di pinggir jalan, masih jadi kunci berbisnis di masa pandemi.
Selaras dengan ungkapan itu, Bhima menambahkan, menggandeng digital platform, baik jasa antar makanan maupun promo diskon di media sosial juga tak kalah penting. Mengingat, semua aktivitas berpindah secara masif ke digital.
"Perusahaan juga dituntut untuk inovatif dalam mendesain ulang produk yang dijual. Semakin unik dan kreatif tentu akan menarik perhatian calon pembeli," tandasnya.