Liputan6.com, Jakarta - Serial Emily in Paris tengah jadi topik hangat perbincangan publik. Komponen obrolannya meliputi berbagai aspek, tak terkecuali soal ragam busana yang dikenakan sejumlah tokoh, seperti Emily, karakter utama yang diperankan aktris Lily Collins.
Menurut Marina Khorosh, penulis memoar Love in Translation, sebagaimana dilansir laman Vogue US, Selasa, 20 Oktober 2020, selama tiga tahun tinggal di Prancis, ia tak pernah menyaksikan penggabungan busana seperti Emily di jalanan Paris, apalagi di kantor. Pengecualiannya hanya ada di Paris Fashion Week.
"Faktanya, rutinitas pekerjaan awal saya di Prancis sering kali menyertakan pepatah tried-and-trusted, 'Sebelum keluar rumah, lihat ke cermin dan ambil satu barang,' jika tak ada alasan lain memakainya selain untuk menepis komentar rekan-rekan saya," Khorosh menjelaskan.
Advertisement
Baca Juga
Sementara, Emily justru tak pernah melepaskan apa pun. Alih-alih, ia melapisi aksesori, lalu mengarahkan mata penonton ke sekeliling layar guna menyerap potongan-potongan penampilannya.
"Sederhananya, Emily bukanlah gaya saya. Akumulasinya, (yaitu) topi merah muda, topi merah muda dan ungu, rambut keriting, pola dan lapisan warna mencolok," kata Stéphanie Delpon, salah satu pendiri agensi kreatif Paris, Pictoresq.
Kendati, Delpon mengaku akan dengan senang hati mengadopsi beberapa bagian lemari pakaian Emily, seperti koleksi tas Chanel berwarna cerah. Namun, seperti kebanyakan Parisiennes, ia akan memakainya sebagai bagian penting dari pakaian, bukan teka-teki jumbo kaleidoskopik.
"Gaya Prancis adalah tentang menciptakan ruang untuk bernapas, mengukir zona kosong tempat keindahan berada, dan karakter dapat terpancar secara alami," tuturnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Tak Bersentuhan dengan Realita
Mathilde Carton, pemimpin redaksi Grazia Prancis, berpendapat bahwa pakaian Emily terasa tak terhubung dengan kenyataan, baik dari segi busana maupun perspektif praktis. Ia mengatakan, sepatu hak tinggi yang dipakai Emily setiap hari tak berfungsi dan absen dari kepraktisan apa pun di kota pejalan kaki seperti Paris.
“Dari sudut pandang mode, mereka terlalu cerah, terlalu mencolok, terlalu kartun, dan tak cukup serbaguna untuk dipakai sepanjang hari," katanya.
Beberapa orang bertanya-tanya apakah pakaian Emily sengaja dibuat hambar untuk menggarisbawahi perbedaan antara dirinya dan rekan-rekan asal Paris. "Lemari pakaiannya sama sekali tidak bersentuhan dengan lingkungannya, persis seperti karakternya yang tak peduli tentang kesesuaian," ucap Carton.
Musuh busana Emily digambarkan pada pacar tetangganya, Camille, yang berpenampilan alami dan disukai semua orang. "Dari blazer hitam garis-garis, gaun peraknya di galeri seni, hingga gaun polkadot dengan platform Dr. Martens, penata gaya melakukan pekerjaan yang sangat hebat di sana," kata jurnalis Paris, Stéphanie Chermont.
Selain bos Emily, Sylvie, yang menerima kritik atas gaun seksi, aksesori dramatis, dan persona yang terlalu mendominasi, pakaian karakter Paris lainnya kurang lebih bisa diterima. Jauh lebih banyak kritik justru ditujukan pada cara orang Prancis digambarkan.
"Bagi saya, ini adalah titik lemah dari serial ini," kata Delpon, bersikeras bahwa pertunjukan itu sering kali membuat orang Prancis tampil konyol, cuek, bahkan rasis. "Potret Prancis itu tak akurat dan terlalu karikatural. Itu mengarah ke titik di mana terkadang konyol dan menyakitkan untuk ditonton."
Advertisement