Liputan6.com, Jakarta - Kekhawatiran yang diwakilkan satu individu komodo. Begitulah Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) NTT, Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi, memaknai foto viral yang mengalihkan perhatian publik pada proyek pembangunan di Loh Buaya, Pulau Rinca, Taman Nasional Komodo (TNK).
"Pembangunan sarana dan prasarana di zona pemanfaatan dengan desain baru, yang lama dibongkar. Fasilitas-fasilitas itu akan dibuat terpadu," kata Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI, Wiratno, menjawab apa yang sebenarnya sedang terjadi di Pulau Rinca, lewat sambungan telepon pada Liputan6.com, Jumat, 30 Oktober 2020.
Ia menambahkan, sarana prasarana yang dimaksud berupa dermaga Loh Buaya, pengaman pantai, evelated deck, pusat informasi, serta pondok bagi ranger, peneliti, juga pemandu.
Advertisement
"Boardwalk itu tingginya dua meter. Jadi, nantinya saat orang berkunjung ke (Pulau) Rinca, tak akan jalan di setapak seperti sekarang," ujarnya smbil menambahkan upaya mengurangi interaksi itu bermaksud memelihara insting liar komodo.
Baca Juga
Sementara, menurut Umbu, komodo sebagai hewan langka tak hanya milik Indonesia, melainkan dunia. Karenanya, tak bisa dikanalisasi hanya karena warga setempat setuju. Pasalnya, satwa tersebut melampaui semata kepemilikan masyarakat lokal.
"Mereka (dalam kasus ini KLHK dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat) punya dalih soal aturan dan memang dilimpahkan kuasa untuk mengelola. Tapi, yang perlu dipahami, komodo itu binatang langka, sangat langka," tuturnya melalui sambungan telepon, Jumat, 30 Oktober 2020.
Maka dari itu, pengelolaan habitatnya, dalam hal ini TNK, tak bisa disamakan dengan taman nasional lain. "Misalnya saja orangutan. Orangutan memang langka. Tapi, masih ada di wilayah lain. Tapi, komodo? Cuma ada di sini," imbuh Umbu.
Tantangan proyek tersebut, kata Wiratno, terlepas berlokasi di zona pemanfaatan, memang karena ada individu komodo yang berdiam di area tersebut. "Ada sekitar 15 individu (komodo) yang aktif di sana (wilayah proyek sarana prasarana seluas 1,3 hektare)," ujarnya.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Ada Koreksi
Sebagai respons atas potret komodo seolah menghadang truk yang ramai beberapa waktu belakangan, Wiratno mengatakan, pihaknya memutuskan mengoreksi operasional dengan melakukan pemagaran di area proyek.
"Pakar mengatakan bahwa komodo itu adaptif. Saat sudah dipagari, mereka akan memutar untuk mencari tempat berjemur baru (area proyek sekarang merupakan lokasi komodo biasa berjemur)," katanya, kendati klaim ini belum dibuktikan secara independen oleh Liputan6.com.
Wiratno menjelaskan, sekarang merupakan musim pengeraman telur komodo di sarang. Total ada lima sarang aktif dengan rata-rata jarak 300 meter dari lokasi proyek, menurutnya.
"Besok (Sabtu, 31 Oktober 2020) akan dipetakan (termasuk soal sarang komodo) saat uji lapangan. Proyek nantinya mengadopsi ke data tersebut. Jadi, ada proses adaptasi pada kondisi lokal," tuturnya.
Sementara, Umbu menegaskan, pihaknya bukan menempatkan tendensi kritik semata pada pembangunan sarana prasarana. Urgensi TNK sebagai wilayah konservasi harusnya dituntaskan lebih dulu.
"Sekarang saya tanya, ada berapa banyak ahli komodo? Sedikit sekali. Labolatorium riset tentang komodo pun masih sangat minim. Jadi, bagaimana kami bisa percaya (pemerintah) menjalankan keseriusan konservasi saat wacananya sudah wisata terus?" katanya.
Menurutnya, zona pemanfaatan tak seharusnya hanya berbasis pada luas lahan. Namun, harus mencocokkan dengan ragam rambu, jangan sampai ada keserakahan di sana. Kemudian, sarana prasana juga harusnya berbasis komunitas, bukan dibangun dalam skala besar.
Â
Advertisement
Mau Dibawa ke Mana?
Umbu mengatakan, pemanfaatan wisata konservasi baru bisa dilakukan setelah prinsip-prinsip konservasi tersebut sudah rampung. "Sekarang pendekatan sains jauh lebih urgent daripada wisata," katanya.
Berkaca pada apa yang sekarang terjadi di Pulau Rinca, Umbu mengaku, tak bisa melihat jelas sebenarnya mau dibawa ke mana wisata konservasi di Pulau Rinca dan wilayah lain di TNK.
"Karena keterangan Pemprov dan pemerintah pusat saja berbeda. Berarti di lingkaran pemerintah saja belum tuntas. Saya pikir ini lebih ke urusan bisnis, KSPN, dibanding urusan konservasi," tuturnya.
Sedangkan, Wiratno menjelaskan, arah wisata konservasi Pulau Rinca adalah memberi serba-serbi pengetahuan pada pengunjung. "Sekali ke (TN) Komodo, mereka akan dapat (pengetahuan) sejarah alam menarik. Jadi, dari situ bisa mencintai geologi dan satwa," katanya.
Di samping, pusat informasi di Pulau Rinca juga akan mengangkat kearifan lokal. "Manggarai traditional wisdom. (Penenalan) kuliner pasti. Jadi, semua paket ada di (Pulau) Rinca," imbuh Wiratno.
Kendati, kata Umbu, fasilitas tersebut bisa saja dibangun di luar habitat asli Komodo. "Misalnya di Labuan Bajo. Turis kan juga pasti ke Labuan Bajo dulu sebelum ke TNK," tuturnya.
"Keterangan ilmiah soal konservasi komodo tidak pernah sampai ke publik, urusan perlindungannya belum dijelaskan. Kan enak kalau ada statement kita sudah punya 100 ahli komodo. Tapi, kalau begini, bagaimana mau serius mengurus konservasi?" tandas Umbu.