Sukses

Menghindari Self-love Berubah Jadi Toxic Positivity

Berpikiran postitif sebagai bagian dari self-love memang penting, tapi jangan sampai disabotase jadi toxic positivity.

Liputan6.com, Jakarta - "Self-love? Let's give yourself a hug first," begitulah keterangan pembuka ahli psikiatri dr. Theresia Citraningtyas dalam sesi Self-love: Temukan Harta Karun dalam Dirimu di rangkaian acara Alive 2020 secara daring, Sabtu, 7 November 2020.

Berbicara tentang self-love atau 'seni' mencintai diri sendiri, pendekatan setiap orang boleh jadi berbeda. Di antara lantang suara ajakan hadir sepenuhnya untuk diri sendiri, Anda perlu menggambar jelas batas antara self-love dan toxic positivity.

Melansir laman Psychology Today, frasa toxic positivity mengacu pada konsep tetap positif sebagai motode konstan dalam menjalani hidup. Dengan kata lain, Anda hanya fokus pada hal-hal positif dan menolak apa pun yang dapat memicu emosi negatif.

Sekilas, gagasan ini terdengar seperti melodi merdu. Padahal, ketika menyangkal atau menghindari emosi tak menyenangkan, Anda justru membuatnya lebih besar. Saat terjebak dalam siklus ini, emosi jadi lebih besar dan signifikan karena tak diproses.

Faktanya, secara evolusioner, manusia tak bisa memprogram diri untuk hanya merasa bahagia. "Saat menyayangi anak kita, misalnya. Kita juga mengajarkan disiplin dan perilaku positif pada anak. Bertanggung jawab pada diri sendiri adalah bagian penting dari self-love," ungkap dr. Theresia.

Meditation Instructor, Cindy Gozali, menyatakan, supaya tak mencampuradukkan self-love dengan toxic positivity, Anda harus memastikan punya kesadaran diri tentang masalah yang dihadapi.

"Sehingga kita tak melarikan diri dan kita mencintai diri karena bertanggung jawab atas hidup kita sendiri, tak bergantung pada orang lain untuk membuat kita bahagia," tuturnya.

Artha Julie Nava, selaku Personal Branding Coach menjelaskan bahwa pikiran positif bakal menjelma jadi racun ketika seseorang mulai mengabaikan masalah. Yang harus digarisbawahi, punya pola pikir positif bukan berarti mengecilkan masalah atau bertindak seolah-olah tak ada masalah sama sekali.

"Kita masih perlu mengenali (masalah) dan mencari cara untuk mengatasinya," ujar Julie.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Perjalanan Menemukan Diri Sendiri

Julie menyambung, kultur sosial di kebanyakan negara Asia yang terlalu peduli pada pendapat orang lain membuat self-love jadi perjalanan tak selalu mudah. Kebiasaan ini dikatakannya membuat tak sedikit orang lupa untuk kembali seutuhnya ke diri sendiri.

"Banyak orang, terutama perempuan, kurang bisa mengekspresikan diri. Mereka larut dengan citra orang lain, alhasil sulit mengambil keputusan," katanya.

drg. T. Annisa Utami menambahkan, keberadaan realita serba sempurna di media sosial juga jadi tantangan lain dalam sepenuhnya menerima dan menyayangi diri sendiri.

Kepala Sekolah Tutor Time Kemang, Vriti Mahtani, menjelaskan self-love juga soal memindai diri sendiri. Penerapannya dikatakan bisa jadi bagian menyiapkan diri jadi orangtua.

Dalam mendukung perjalanan menemukan diri sendiri, dr. Sonia Wibisono mengatakan, para ahli menulis buku berjudul Self Love. Tak hanya pengalaman para narasumber menemukan kecintaan pada diri sendiri, di dalamnya juga ada arahan secara struktural untuk 'bermonolog.'

Juga, terdapat ragam latihan untuk mengidentifikasi tingkat stres. "Jadi, tak hanya membaca, tapi secara aktif terlibat dalam perjalanan itu," katanya. Dibanderol Rp175 ribu, buku dalam Bahasa Indonesia ini bisa dipesan melalui teks ke 0812 9338 3162.