Liputan6.com, Jakarta - Pandemi Covid-19 membuat perjalanan wisata jarak jauh jadi makin sulit. Industri yang bergantung pada kunjungan turis asing pun harus putar otak agar bisa tetap diingat dan dirindukan. Tur virtual jadi jalan keluar sementara atas situasi serba tak pasti, termasuk yang dilakukan Hong Kong Tourism Board (HKTB) lewat Virtual Foodie Tour pada Rabu sore, 18 November 2020.
Tepat pukul 14.00 WIB atau pukul 15 waktu Hong Kong, perjalanan wisata kuliner virtual pun dimulai. Pemandu bernama Olivia mengajak jurnalis yang berasal dari berbagai negara, seperti Indonesia, Inggris, Thailand, dan Hong Kong, singgah di sebuah kedai teh berusia seratusan tahun, Lin Heung Tea House.
Advertisement
Baca Juga
Lokasinya berada di kawasan Central, Hong Kong. Olivia langsung mengajak para peserta menuju lantai dua kedai. Di meja yang berada di sudut, sudah menunggu Christian Yang, seorang celebrity chef. Di hadapannya terdapat makanan dan minuman yang sudah dipesan.
Siomay dan hakaw paling gampang dikenali, tapi yang paling menarik perhatian saya adalah makanan berbentuk kotak dengan lapisan kuning dan putih berselang-seling. Makanan itu diperkenalkan sebagai thousand layers of cake. Cita rasanya manis asin karena menggunakan telur asin di dalamnya.
Kue itu diletakkan di steamer berbahan bambu yang kerap dipakai untuk menaruh dimsum saat disajikan pada tamu. Saat Christian membelahnya menggunakan sendok, teksturnya terlihat lembut dan mengingatkan pada mille crepe. Kue itu bukan asli Hong Kong, melainkan mengadaptasi kue serupa di Hungaria.
"Rasanya sepadan dengan kerja keras pembuatnya," kata Christian.
Menyantap kudapan itu paling pas bersama teh. Ia pun menjelaskan cara menyeduh teh menggunakan mangkuk keramik kecil dengan tutup. Kalau tidak diberitahu, saya mengira mangkuk itu untuk wadah sup atau makanan lain. Cara menggunakannya, daun teh ditaruh di dasar hingga ketinggian sekitar satu ruas jari. Kemudian, air panas dituangkan ke dalamnya dan dibiarkan beberapa saat sebelum dituangkan ke cangkir keramik.
"Saya perlihatkan jurus Shaolin," candanya seraya membuka sedikit tutup mangkuk untuk menahan daun teh agar tak terikut masuk cangkir.
Sementara, Olivia menjelaskan simbol penghormatan pada yang sudah menuangkan teh. Ia mengetukkan jari telunjuk dan jari tengah yang dilipat ke atas meja. Simbol itu muncul saat Kaisar China menuangkan teh pada anak buahnya berabad-abad lalu dan terus berlanjut hingga sekarang di Hong Kong.
"Kalau melihat ini, bentuknya seolah-olah kita sedang berlutut menghormat," ucapnya.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Kunjungan ke Toko Kecap
Setelah dari kedai teh, Olivia dan Christian mengajak peserta tur virtual menuju toko kecap Kownloon Soy Company. Toko tersebut termasuk legendaris karena sudah berusia ratusan tahun. Produsen masih mempertahankan cara pembuatan kecap yang asli, yakni dengan memfermentasinya.
Secara umum tersedia dua jenis kecap, light dan dark. Kecap light berwarna lebih kemerahan dan bertekstur lebih cair dibanding kecap berwarna lebih gelap. Christian lebih sering menggunakan kecap light yang biasanya dimasak bersama jamur shitake. Menurut sang juru masak, rasanya jadi lebih mantap.
"Jangan menggunakan (api) panas tinggi, pakai panas sedang saja (saat memasak menggunakan kecap)," katanya.
Toko tersebut tak hanya menjual kecap. Terdapat beragam manisan buah yang dipajang menggunakan botol kaca besar, mirip seperti para penjaja manisan di Cianjur. Yang paling disukai Christian adalah manisan kulit jeruk tangerine kering.
"Saat cocok untuk memasak daging sapi," ungkapnya memberi bocoran.
Tak lama, mereka berpindah ke Roaster Bowl, yakni warung makan yang menjual nasi daging dengan sayur pakcoy di dalam mangkuk. Mereka tak sempat mencicipi sajian di sana, tapi segera berpindah ke Graham Street Market, sebuah pasar tradisional yang menyediakan beragam kebutuhan pokok.
Advertisement
Menuju Titik Terakhir
Secara khusus, mereka mendatangi los pedagang telur. Telur jadi komoditas favorit di sana yang ditunjukkan lewat beragam menu makanan setempat, seperti egg tart dan egg tea.
Olivia menunjukkan betapa si penjual ramah lingkungan, lantaran menggunakan keranjang bambu yang sudah berusia 60-an tahun. Agar bisa terus dipakai, si penjual menggunakan tali plastik untuk merekatkan kembali keranjang itu.
"Di sini tidak lagi menggunakan kantong plastik. Ada koran bekas yang digunakan untuk membungkus telur. Satu, dua telur dibungkus dan Anda bisa langsung pergi," jelasnya.
Keduanya pun beranjak menuju titik terakhir, yakni Corner Stone Restaurant, yang dimiliki oleh chef berkebangsaan Australia, Shane Osborne. Sang chef menunjukkan keahlian mengolah salmon dan mengombinasikannya dengan olahan telur, juga sayur.
"Hong Kong adalah kota yang seperti melting point di mana Anda akan menemukan banyak budaya di sini. Selain itu, penduduk Hong Kong sangat suka makan dan cukup adventurous soal kuliner. Di Hong Kong, Anda akan menemukan banyak restoran dari berbagai negara di dunia," kata Osborne perihal alasannya membuka restoran di sana.
Selama pandemi, jam buka restoran kini dibatasi. Tak ada lagi yang bisa buka 24 jam, tapi harus ditutup antara pukul 12 pagi hingga 5 pagi. Restoran pun harus menerapkan protokol kesehatan yang tepat, seperti menjaga jarak antar-meja 1,5 meter.
"Kami juga harus tetap mengenakan masker selama menunggu makanan datang," kata Olivia.