Sukses

Sosok Desainer Kaus Tie-Dye yang Produknya Kerap Ludes Terjual dalam 2 Menit

Kaus tie-dye karya desainer tersebut tak hanya terkenal akan desainnnya tetapi pesan penting yang dibawakan di dalamnya.

Liputan6.com, Jakarta - Di tangan Jasmine Plantin, kaus tie-dye bukan sekadar produk semata, tetapi merupakan komoditas yang layak dikoleksi. Perempuan asal New York tersebut merupakan desainer yang merancang kaus tie-dye buatan tangan berlabel Ampwata. 

Dikutip dari Vogue, Senin (23/11/2020), kaus tersebut biasanya dirilis setiap minggu dengan jumlah yang dijual hanya tiga sampai enam potong saja. Rata-rata seluruh produknya terjual hanya dua menit setelah ditawarkan secara daring. 

Setiap kaus yang diproduksi Plantin berbeda antara satu batch dan batch lain. Dengan kata lain, setiap pembelinya akan memperoleh barang edisi terbatas. Pasalnya, ia menganggap setiap batch kaus merupakan satu babak tertentu dalam sebuah cerita bersambung yang plotnya merupakan perjalanan untuk komunitas dan kolaborasi, khususnya bagi para diaspora Afrika.

Setiap kaus yang dirilis datang dengan satu set cerita yang berkaitan dengan lautan, sebuah tema yang dipilih Platin setelah menyelami asal-usulnya. "Dengan ibuku berasal dari New Orleans, sebuah kota pelabuhan, dan ayahku dari Jacmel, sebuah kota pantai di Haiti, aku kerap melihat elemen air ini sangat kekinian. Jadi itulah yang selalu menjadi inti (Ampwata), dan aku pikir aku selalu kembali ke sana dengan cara tertentu," tutur Plantin.

Pada September lalu, ia meluncurkan satu set kaus tie-dye berwarna hijau dan kuning yang membawa pesan tentang Grown in Haiti, sebuah inisiatif penghijauan hutan kembali di negara pulau tersebut, serta video-video tentang pembuatan papan selancar tanpa limbah. Kali lain, ia menciptakan kaus tie-dye merah berkarat yang disertai informasi tentang suku Mi'kmaq yang berjuang mempertahankan kedaulatan maritim mereka di Nova Scotia.

Lewat kaus-kaus itu, Ampwata tidak hanya meluncurkan kaus dengan warna mencolok, tetapi juga kesempatan untuk mengedukasi publik. Sejak pandemi dimulai, Plantin juga berpikir untuk mendirikan sebuah tempat yang bisa menyediakan keamanan dan koneksi online. Ia pun membuat ruang aman lewat Ampwata, kaus yang merupakan manifestasi dari ide-idenya.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 2 halaman

Digandeng Nike

Plantin pindah ke Portland, Oregon, dari New York, setelah ia memutuskan bekerja untuk Nike sebagai desainer yang fokus pada arah pewarnaan. Ia kini bekerja jarak jauh di rumah orangtuanya di Long Island.

Karya seni menghiasi dinding rumah tersebut. Ibu Plantin merupakan seorang pembuat pola yang di studio rumahnya dilengkapi dengan mesin jahit, tong, dan rak pengering. Karena itu, ia merasa tempat tersebut sangat mendukungnya untuk bekerja kreatif untuk Ampwata. 

"Ibuku adalah orang yang mengajarkanku seluruh proses mewarnai. Jadi, sangat menyenangkan untuk bisa kembali bersamanya, dan mendapat saran tentang teknik-teknik baru yang aku pelajari atau kembangkan," tutur Plantin.

Plantin didekati Nike setelah ia berkolaborasi dengan label Noah asal New York untuk membuat 200 sweatshirts tie-dye buatan tangan untuk toko Museum Whitney. Meski Ampwata adalah proyek yang jauh lebih kecil, hal itu sangat berkaitan dengan tanggung jawab Noah terhadap Bumi dan komunitasnya.

Material dasar yang digunakannya 100 persen bahan daur ulang. Koleksi yang akan diluncurkannya dalam waktu dekat, yakni pekan kedua Desember, akan menggunakan ulang kaus suvenir vintage dari negara-negara tropis. Koleksi ini disebutnya Tidalectics, istilah yang diciptakan oleh penyair dan filsuf Kamau Brathwaite.

Plantin menggunakan pakaiannya sebagai semacam alat perjalanan waktu, baik mengingatkan masa lalu seperti Tidalectic atau bagian dari visi utopia di mana slow fashion berlaku dan seni tersedia untuk semua orang dalam bentuk kaus. Ia tak sendiri dalam revolusi ideal ini karena ia juga terinspirasi dari karya ilustrastor Julia Garcia dan desainer denim Alexis Colby. (Vriskey Herdiyani)