Liputan6.com, Jakarta – Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) menilai sudah saatnya Indonesia mempertimbangkan penerapan konsep pengurangan bahaya (harm reduction) untuk kepentingan kesehatan masyarakat. Ketua IAI, Nurul Falah Eddy Pariang, menyatakan penerapan pengurangan bahaya di Indonesia masih belum dipertimbangkan sebagai salah satu opsi utama untuk perlindungan kesehatan masyarakat.
“Konsep harm reduction sudah populer di luar negeri, bahkan secara aktif dipromosikan oleh Pemerintah sejumlah negara. Sayangnya, kita masih belum terlalu familiar dengan konsep ini,” katanya. Padahal, menurut dia pengaplikasian pendekatan harm reduction bisa dengan mudah kita temui di kehidupan sehari-hari seperti misalnya mengurangi risiko dari gula dengan pemanis stevia sebagai alternatif.
Lebih lanjut, Nurul Falah mengatakan pentingnya peran aktif pemerintah untuk turut mempromosikan pendekatan ini. “Di luar negeri, pendekatan ini kan terbukti membawa dampak positif bagi kesehatan publik, terutama terkait penyakit tidak menular, kenapa kita tidak coba untuk belajar dari contoh yang berhasil,” terang Nurul Falah.
Advertisement
Baca Juga
Menurutnya, sebagai langkah awal tentu dibutuhkan kajian ilmiah mendalam sebagai landasan dalam mengambil sikap dan penentu arah kebijakan. “Minimnya riset dapat menyebabkan kealpaan informasi dan berujung pada simpang-siurnya informasi. Tanpa adanya penelitian, kita tidak bisa mengambil kesimpulan yang konklusif untuk memaksimalkan implementasi pendekatan harm reduction bagi kesehatan masyarakat. Apoteker dapat turut terlibat dalam penelitiannya” tambahnya.
Pada kesempatan terpisah, ahli toksikologi Universitas Airlangga, Shoim Hidayat, merespon positif sikap apoteker yang siap terlibat dalam kajian ilmiah untuk penerapan harm reduction. Menurut Shoim, makin banyaknya pihak yang berpartisipasi, maka akan menghasilkan data yang lebih komprehensif.
“Makin banyak yang mengkaji, maka akan banyak data dan bisa diperbandingkan sama atau berbeda. Kebenaran dari sisi ilmiah tidak ada yang mutlak,” katanya saat dihubungi wartawan. Ia mencontohkan sejumlah kajian di luar negeri terkait penerapan pengurangan bahaya terhadap kesehatan melalui produk tembakau alternatif.
Shoim menjelaskan produk tembakau alternatif terbukti menghasilkan zat berbahaya yang lebih sedikit dibandingkan rokok. Hal ini dikarenakan pada produk seperti produk tembakau yang dipanaskan maupun rokok elektrik tidak terjadi proses pembakaran dalam penggunaannya. Namun, bukan berarti produk ini sepenuhnya bebas risiko.
“Dengan dipanaskan, maka yang terjadi adalah penguapan. Jadi, bahan kimia HPHC (harmful and potentially harmful constituent) akan berbeda antara produk tembakau alternatif dengan rokok. Perbedaan utamanya dalam hal kuantitas dan kadarnya,” kata Shoim.
Salah satu hasil kajian ilmiah yang membuktikan produk tembakau alternatif lebih rendah risiko bagi kesehatan daripada terus merokok adalah riset dari Public Health England, divisi dalam Departemen Kesehatan dan Pelayanan Sosial di Inggris pada 2018 lalu.
Dalam kajian ilmiah yang berjudul “Evidence Review of E-Cigarettes and Heated Tobacco Products 2018”, dinyatakan bahwa produk tembakau alternatif lebih rendah risikonya hingga 95% dibandingkan rokok. “Oleh karena itu diharapkan bagi perokok dewasa yang tidak ingin merokok lagi, maka bisa beralih ke produk tembakau alternatif. Kandungan HPHC lebih rendah dibandingkan rokok,” tegasnya.
Shoim menambahkan, sesuai dengan hasil kajian ilmiah yang ada bahwa produk tembakau alternatif lebih rendah risiko bagi kesehatan daripada terus merokok, perlu ada regulasi tentang informasi peringatan kesehatannya yang berbeda pula dari rokok. “Produk tembakau alternatif memang tidak bebas risiko, namun risikonya sudah sangat diminimalisir.
Saya memperhatikan di negara-negara lain itu peringatan kesehatannya berbeda dengan rokok, dan hanya menitikberatkan pada efek nikotin yang dapat menyebabkan ketergantungan. Untuk itu penting agar peringatan kesehatan di produk tembakau alternatif memberikan informasi yang tepat konsumen, sesuai dengan fakta ilmiah yang ada, sehingga tidak bisa disamakan dengan rokok,” tutup Shoim.