Liputan6.com, Jakarta - Traveling jadi salah satu kegiatan yang sarat perubahan di masa pandemi corona COVID-19. Ragam upaya tersebut dilakukan untuk memutus rantai transmisi virus corona baru, mengingat masa krisis kesehatan global masih berlangsung.
Mengutip laman Independent, Jumat (4/12/2020), Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah memperingatkan negara-negara yang mengeluarkan "paspor kekebalan" bagi orang-orang yang telah pulih dari COVID-19. Di saat bersamaan, pihaknya sedang menyelidiki prospek penggunaan sertifikat elektronik untuk menandai mereka yang telah divaksinasi.
"Kami melihat secara dekat penggunaan teknologi dalam penanggulangan COVID-19, dan salah satunya adalah bagaimana dapat bekerja dengan negara-negara anggota untuk mendapat sertifikat vaksinasi elektronik," kata seorang ahli medis WHO dalam pengarahan virtual di Kopenhagen, Denmark, Kamis, 3 Desember 2020.
Advertisement
Baca Juga
Dr Siddharta Sankar Datta, penasihat regional untuk penyakit dan imunisasi, mengatakan bahwa teknologi tersebut berpotensi digunakan untuk membuka perjalanan internasional.
Bulan lalu, WHO menandatangani perjanjian dengan Estonia untuk mengerjakan inovasi digital dalam penanggulangan COVID-19. Salah satu canangannya melibatkan prospek penggunaan sertifikat vaksinasi bagi mereka yang pernah menerima suntikan virus corona baru.
Pemerintah negara-negara dunia, termasuk Inggris, Amerika Serikat, Jerman, dan Italia telah menyarankan penggunaan paspor imunitas sebagai jalan kembali ke kehidupan normal pascapandemi corona COVID-19.
Â
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Bisa Picu Diskriminasi?
Berbagai inisiatif untuk mengembangkan paspor kesehatan saat ini sedang dilakukan di sejumlah negara. Ambisinya untuk memfasilitasi kembali agenda bekerja, bepergian, dan acara besar, termasuk ke luar negeri.
Tapi, para peneliti Inggris telah memperingatkan agar tak memasukkan izin semacam itu secara massal sampai tes dan vaksin COVID-19 tersedia untuk semua orang.
Sebuah laporan yang ditulis akademisi University of Exeter mengatakan, paspor kesehatan dapat mengganggu hak-hak fundamental, termasuk hak privasi, kebebasan bergerak, dan berkumpul secara damai, serta menyebabkan ketidaksetaraan, juga diskriminasi.
"Mereka dibangun di atas informasi kesehatan pribadi yang sensitif untuk menciptakan perbedaan baru antara individu berdasarkan status kesehatan mereka, yang kemudian dapat digunakan untuk menentukan tingkat kebebasan dan hak yang dapat dinikmati individu," kata penulis laporan itu, Dr Ana Beduschi, seorang profesor hukum.
Mengingat paspor kesehatan digital berisi informasi pribadi yang sensitif, undang-undang dan kebijakan domestik harus mempertimbangkan dengan cermat kondisi pengumpulan, penyimpanan, dan penggunaan data oleh penyedia sektor swasta.
"Juga, penting bahwa komunitas yang telah terkena dampak buruk pandemi memiliki akses cepat ke tes yang terjangkau dan, akhirnya, vaksin. Jika tidak, menyebarkan paspor kesehatan digital dapat semakin memperdalam ketidaksetaraan yang ada di masyarakat," tutupnya.
Advertisement