Sukses

Petisi Menolak Galon Sekali Pakai dan Mengapa Daur Ulang Saja Tak Cukup

Gagasan galon sekali pakai bahkan disebut sebagai kemunduran di tengah upaya mengurangi sampah plastik sekali pakai.

Liputan6.com, Jakarta - Galon sekali pakai jadi satu dari sekian banyak inovasi yang muncul selama pandemi corona COVID-19. Terlepas dari berbagai kampanyenya, produk ini justru dinilai sebagai kemunduran di tengah upaya mengurangi sampah plastik sekali pakai di dalam negeri.

Suara ketidaksetujuan ini kemudian ditransfer ke dalam bentuk petisi di Change.org yang pada Rabu siang (30/12/2020) telah ditandatangani lebih dari 18 ribu partisipan. Gerakan penolakan ini sendiri diprakarsai oleh Elhan dan Helfia, siswi SMA N 6 Bekasi, Jawa Barat.

"Ini sangat kebalikan dari program Galonisasix yang sudah berjalan selama tiga tahun di sekolah kami," kata Elhan, siswi yang juga aktif dalam Envirochallenge, program edukasi lingkungan untuk siswa sekolah menengah atas oleh Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GIDKP), dalam jumpa pers virtual, Selasa, 29 Desember 2020.

Galonisasix sendiri dirilis untuk mengurangi sampah air minum dalam kemasan, di mana pada paparan Elhan itu jadi penyumbang limbah tertinggi di sekolahnya. Dari situ, siswa kemudian didorong membawa botol minum sendiri dan mengonsumsi air dari galon guna ulang.

"Walau (galon sekali pakai) diklaimnya pakai bahan mudah didaur ulang, belum jelas siapa yang bakal daur ulang. Makanya lebih baik dikurangi (pengguaan produk plastik sekali pakai)," sambungnya.

Tiza Mafira, direktur GIDKP, menambahkan bahwa narasi barang sekali pakai lebih higienis memang terdengar cukup kencang selama masa kriris kesehatan global. "Akhirnya membuat masyarakat terbuai. Padahal kalau secara objektif, tidak ada narasi WHO yang mendorong pemakaian barang sekali pakai untuk mengatasi pandemi," tegasnya.

Bahkan, sambung Tiza, 139 ilmuwan dari seluruh dunia telah membuat pernyataan bahwa kemasan guna ulang aman digunakan selama pandemi. Saat itu masalahnya bertitik berat pada penggunaan tas belanja yang bisa dipakai berkali-kali.

"Yang penting setelah digunakan (tas belanja reusable), dicuci bersih. Itu pun yang cuci kan kita sendiri, jadi higienitasnya terjaga. Belum selesai di situ, sudah muncul galon sekali pakai," tuturnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 3 halaman

Tak Cukup dengan Daur Ulang

Juru kampanye urban Greenpeace Indonesia, Muharram Atha Rasyadi, mempertanyakan apakah seluruh komponen galon sekali pakai bisa didaur ulang. "Lalu, apakah limbahnya benar telah terserap dengan baik?" katanya di kesempatan yang sama.

Yang harus diperhatikan, galon sekali pakai tak hanya terdiri dari galon saja, melainkan ada tutup galon dan label dalam satu produk utuh. Ia mengatakan, sampai ini belum ada transparansi data soal apakah volume produksi seimbang dengan daur ulang yang dilakukan.

"Kalau sudah, jelaskan ada di mana saja. Makanya ini harus dibuka datanya," tegas Atha.

Ia berpendapat bahwa daur ulang tak cukup untuk menekan limbah plastik sekali pakai. Upaya itu akan sia-sia bila volume produksi tak ditekan.

"Sebenarnya daur ulang ada untuk menutup gap antara jumlah produksi dan limbah yang dihasilkan. Jadi, tak hanya soal daur ulang, tapi bagaimana juga perlahan produksinya harus dikendalikan," tuturnya.

Dalam paparannya, peneliti Ecoton, Andreas Agus Kristanto Nugroho, menjelaskan bahwa tanpa sampah galon sekali pakai, mikroplastik sendiri sudah mencemari DAS Brantas di Jawa Timur. Alirannya sendiri mencakup Kabupaten Malang, Blitar, Tulungagung, Trenggalek, Kediri, Nganjuk, Jombang, Mojokerto, Sidoarjo, kota Batu, kota Malang, kota Blitar, kota Kediri, kota Mojokerto, dan kota Surabaya.

"100 persen feses dari 51 relawan yang tinggal di wilayah aliran DAS Brantas positif mikroplastik dengan persentase tertinggi ada di kota Malang," papar Andreas.

3 dari 3 halaman

Infografis Jurus Kelola Sampah ala Risma