Sukses

Cerita Akhir Pekan: Ada Apa dengan Tempe?

Tempe termasuk makanan khas Indonesia, tapi kenapa bahan baku utamanya yaitu kacang kedelai harus diimpor?

Liputan6.com, Jakarta - Tempe dan tahu termasuk menu andalan sehari-hari masyarakat Indonesia. Makanan yang terbuat dari kacang kedelai ini disebut-sebut sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Selain enak, tempe dan tahu juga banyak disukai karena harganya sangat terjangkau, mengenyangkan, bisa dibuat berbagai kreasi makanan dan bergizi.

Dengan tempe bisa dibuat menu tempe goreng, tempe goreng tepung, orek tempe kering atau basah, atau jadi pelengkap dari menu lainnya seperti teri kacang atau semur kentang.

Beda dengan tahu yang juga identik dengan beberapa seperti China dan Jepang, tempe sudah sangat identik dengan Indonesia. Meski begitu, kedelai yang merupakan bahan utama tempe sebagian besar merupakan produk impor. Selama ini Indonesia banyak mengimpor kedelai dari Amerika Serikat dan Brasil.

Namun beberapa hari lalu tempe dikabarkan sempat langka di pasaran. Sejumlah warteg juga dikabarkan tak menjual masakan berbahan tahu dan tempe karenanya. Benarkah?

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan, Didi Sumedi menjelaskan masalah utama sulitnya menemukan tempe dan tahu di pasaran karena para pengrajin tahu dan tempe galau naikkan harga.

"Sebetulnya bukan langka stok kedelainya, sebenarnya stok di Gakoptindo pun ada. Kondisi yang sebenarnya adalah kenaikan harga, sehingga para pengrajin tempe tahu ini jadi ragu harus menaikkan harga, karena ada kenaikan harga kedelai," kata Didi kepada kanal Bisnis Liputan6.com, 4 Januari 2021.

Hal itu pun diakui oleh para pemilik warteg yang banyak mengandalkan tempe sebagai menu makanan mereka.

"Kalau soal harga naik ya kita sudah maklum, tapi kita tetap beli tempe kok karena tempe sama tahu sidah jadi menu wajib di warteg. Kalau harganya naik paling porsinya kita kurang sedikit tapi harganya tetap, itu udah biasa, pelanggan kita jua udah tau kok,”"kata Suparti, pemilik Warung Makan Bu Suparti di kawasan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, saat dihubungi Liputan6.com, Jumat, 8 Januari 2021.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 5 halaman

Antara Lokal dan Impor

Bag Suparti, selama ini harga tempe tidak terlalu berpengaruh pada usahanya. Ia lebih khawatir kalau harga cabai naik. "Kalau naik bisa tinggi banget, wah itu bikin bingung juga soalnya menu makanan saya banyak yang pakai cabai jadi repot kan kalau harganya mendadak naik dan naiknya banyak. Kalau tempe tahu sih selama ini cukup aman lah," terangnya.

Meski begitu, ia berharap harga kedelai bisa distabilkan sehingga harganya tidak mendadak naik.Lalu, kenapa tempe yang merupakan makanan khas Indonesia tapi bahan utamanya yaitu kedelai justru lebih banyak impor? Apa yang salah dengan kedelai produksi lokal?

Menurut Sekjen Forum Tempe Indonesia Dadi Hidayat Maskar, ada banyak yang faktor penyebabnya.Kalau dilihat dari sejarahhya, kedelai itu banyak dihasilkan negara-negara dengan iklin sub tropis seperti Amerika Serikat, Kanada, Brasil dan Argentina. Sementara negara-negara yang beriklim tropis seperti Indonesia, Thailand, dan Vietnam lebih memilih memenuhi kebutuhan kedelai dari impor,

"Thailand dan Vietnam itu secara pertanian lebih maju, tapi mereka juga memenuhi kebutuhan kedelainya dari impor. Lalu mereka membuat bahan makanan lain yang ternyata banyak disukai di banyak negara dan mereka ekspor dengan harga tinggi, ya itu kan bagus dan kita juga bisa seperti itu," jelas pria yang biasa disapa Dadi ini saat dihubungi pada Jumat, 8 Januari 2021.

Menurut Dadi, faktor lainnya yang membuat kita harus ekspor kedelai adalah faktor ekonomi, karena harga kedelai impor lebih murah dibandingkan produksi lokal. Karena produksinya tidak bisa banyak dan harga jualnya mahal, maka para petani pun tidak terlalu berminat menanam kedelai dan lebih memilih menanam padi atau jagung.

"Kalau pun ada yang menanam kedelai itu biasanya bukan tanaman utama, sebagai pelengkap saja. Menurut saya itu tidak masalah, yang penting produk lokal tetap utamakan kualitas bukan kuantitas karena bisa menjadi produk premium. Bisa diolah jadi nugget, sosis atau yang lainnya dan bisa diekspor," ujar pria yang juga menjadi Dosen Jurusan Gizi, Fakultas Teknologi Pangan dan Kesehatan di Universitas Sahid, Jakarta ini.

Ia menambahkan, tidak semua bahan makanan harus kita produksi sendiri karena tak mungkin ada negara yang bisa memenuhi kebutuhan semuanya sendirian. Dadi mencontohkan negara-negara Eropa yang identik dengan produk cokelat terbaik dan mahal, seperti Swiss, Belgia atau Belanda.

3 dari 5 halaman

Tempe Berhak untuk Naik

"Mereka itu impor biji kakao untuk membuat cokelat itu dari mana? Selain Brasil ya paling banyak dari Indonesia. Mereka mengolahnya menjadi produk cokelat kualitas tinggi dan mengekspor produk cokelat bermerek internasional dengan harga ratusan kali lipat. Nah, kita sebenarnya juga bisa seperti mereka dengan tempe karena sudah identik dengan Indonesia, tinggal bagaimana mengolahnya menjadi lebih menarik misalnya seperti saya bilang tadi, dibuat sosis, nugget atau kreasi menarik lainnya," ungkapnya.

Dadi pun heran kenapa impor kedelai selalu dipermasalahkan tiap kali harga tempe naik. Padahal jumlah impor gandum misalnya, jauh lebih banyak dari kedelai, tapi hampir tak pernah diributkan.“Itu mungkin karena gandum diolah lagi menjadi mi instan di Indonesia dan kemudian dielspor dengan harga yang cukup tinggi, Nah tempe juga punya hak seperti itu, Jadi tempe itu punya hak untuk naik,” katanya.

"Ini karena persepsi kita yang menganggap tempe sebagai makanan murah meriah, padahal tempe ini termasuk superfood, bisa dibuat banyak kreasi makanan, harganya terjangkau dan bergizi. Di kafe dan restoran yang jual menu vegetarian kan sekarang banyak menggunakan tempe sebagai pengganti daging. Jadi jangan anggap remeh tempe," pungkasnya.

Hal senada juga dikatakan Sukhaeri .SP.SE selaku Ketua Kopti Kab. Bogor yang juga pimpinan Rumah Tempe Indonesia. "Kenapa kedelai harus impor, ya memang lebih baik impor, karena kualitasnya lebih bagus dan harga lebih murah, simpel aja. Produki kedelai kita juga tidak banyak sehingga tidak bisa memenuhi kebutuhan akan kedelai yang sangat tinggi," terang Sukhaeri pada Liputan6.com, Jumat, 8 Januari 2021.

Meski begitu, Sukhaeri berharap pemerintah juga ikut mengawasi perkembangan harga tempe impor agar tidak terjadi kenaikan tanpa alasan yang jelas dan lebih terkontrol penjualannya. Ia mengatakan ada banyak faktor yang membuat kedelai impor lebih murah.

4 dari 5 halaman

Keunggulan Kedelai Impor

Di Amerka Serikat misalnya, cuaca di negara Paman Sam itu memang cocok untuk menanam kedelai. Selain itu petani di sana biasanya punya kebun yang sangat luas tapi hanya sedikit mempekerjakan pegawai bahkan ada yang tidak punya karyawan sama sekali.

"Biasanya usaha keluarga, jadi satu keluarga saja yang mengurus, jadi biaya produksnya jauh lebih hemat. Setahu saya juga, saya pernah meninjau langsung ke sana, para petani mendapat banyak fasilitas dan kemudahan dari pemerintah seperti dapat pupuk gratis atau dengan harga sangat murah, karena mereka sangat mendorong warganya untuk jadi petani profesional," ungkap Sukhaeri.

Ia menambahkan, satu lagi keunggulan mereka adalah jalur penjualan dan distribusi yang lebih singkat sehingga harganya jauh lebih murah.

Selain faktor teknologi juga berpengaruh, seperti menggunakan rekayasa genetika yang bisa membuat kedelai tumbuh dan berbuah lebih cepat,  Meski begitu petani kedelai lokal tak perlu berkecil hati karena produk juga tetap diminati dan dibutuhkan.

"Secara kualitas nutrisi kedelai kita termasuk yang terbaik, dan tentunya lebih alami karena tidak memakai rekayasa genetika yang masih jadi perdebatan para ahli kedelai. Kedelai kita tetap diproduksi termasuk membuat tempe tapi bisa dikreasi lebih bagus lagi seperti menjadi produk premium," sambungnya.

5 dari 5 halaman

Cara Aman Pesan Makanan via Online dari Covid-19