Sukses

Cerita Akhir Pekan: Mengenal Asal-usul Tempe

Asal-usul tempe sudah ada sejak 1800 tahun lalu yang tercatat dalam Surat Centhini.

Liputan6.com, Jakarta - Persoalan hilangnya tempe di pasaran baru-baru ini ramai ramai jadi bahan perbincangan. Sejumlah produsen menghentikan kegiatan produksi akibat mahalnya harga kedelai.

Selama ini kedelai merupakan bahan utama untuk pembuatan tempe, yang sangat digemari di Indonesia. Oleh karena itu, perbincangan pun tak bisa dihindarkan saat makanan bergizi itu hilang dari pasaran.

Meski tempe menjadi makanan yang sering dikonsumsi masyarakat, tapi masih banyak orang yang tak mengetahui tentang sejarahnya. Lalu, bagaimana asal-usul tempe itu?

"Berdasarkan penelusuran, kalau kita kembali pada tahun 1800-an, ada sebuah buku bernama Serat Centhini yang ditulis pada zaman Sunan Pakubuwono IV, yang menulis buku itu putra mahkotanya, yang kelak menjadi Sunan Pakubuwono V," ujar pendiri Indonesia Tempe Movement, Wida Winarno saat dihubungi Liputan6.com, Jumat sore, 8 Januari 2021.

Perempuan bernama asli Ignatia Widya Kristiari itu mengungkapkan, dalam Serat Centhini itu dituliskan ha-hal yang terjadi 200 tahun yang lalu. Di masa 1600-an itu, dalam Surat Centhini sudah dituliskan tentang tempe.

"Tempe dijadikan sajian untuk tamu agung pada saat itu. Kalau kita menggunakan data atau dokumen itu, kita bisa memastikan bahwa tempe itu asli makanan milik bangsa Indonesia," ungkap alumnus Institut Pertanian Bogor (IPB) itu.

Saat ini, di Indonesia ada satu desa di Malang, Jawa Timur, yang penduduknya semuanya memroduksi tempe. Wida meneyebut desa tersebut bernama Desa Sanan.

"Mereka ada yang membuat tempe fresh, keripik tempe, ragi tempe. Namun, di dalam Serat Centhini, nama desa itu tidak disebutkan," kata Wida.

Sebenarnya, ada satu desa namanya Desa Bayat letaknya antara Yogyakarta dan Solo, persisnya di Klaten. Di sana dulunya ada Sunan Bayat. Dalam Surat Centhini,  Sunan Bayat itu yang disebut menyajikan menu sambal tumpang kepada tamu agung.

"Jadi, sambal tumpang itu memang khas ada di Solo-Yogya. Sausnya itu dibuat dari dua hingga tiga jenis tempe, tempe fresh, tempe semangit, dan tempe bosok," tutur Wida. Wida juga mengamati di sekitar Kediri, Jawa Timur, ada juga semacam sambal tumpang, tapi diberi dengan bumbu pecel, sehingga diberi nama pecel tumpang.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 3 halaman

Membalikkan Persepsi

Sebagai orang yang berlatar belakang ahli pangan dan bioteknologi, Wida Winarno mengatakan, tempe itu sangat seksi dari segi keilmuan. Tempe itu bagaikan bioreaktor mini yang berbentuk makanan yang bisa langsung dimakan.

"Bioreaktor mini mengubah kedelai yang bernutrisi yang diubah ke bentuk yang lebih pipih dan mudah diserap tubuh, mudah diamplifikasi, dan lain-lain sehingga menjadi super food. Padahal, asalnya dari kedelai," kata Wida.

Namun, lanjut Wida, di masyarakat tempe itu tidak dianggap, malah dinilai sebagai makanan kelas dua. Namun, di balik itu ada perkataan Presiden Soekarno di zaman dulu yang mengatakan 'kita jangan mau jadi bangsa tempe'.  

"Padahal, maksudnya, karena di zaman dulu tempe dibuatnya diinjak-injak. Jadi, kita jangan mau diinjak-injak. Tapi memang disebut tempe," ujar perempuan yang sedang menyelesaikan studi doktoral di Universitas Indonesia ini.

"Kalau zaman sekarang, jarang banget orang membuat tempe dengan cara diinjak-injak. Dari situ saya tahu bahwa orang pada level pimpinan negara bisa membuat harkat makanan bisa drop," imbuh Wida.

Dari situ, Indonesia Tempe Movement berusaha untuk membalikkan persepsi itu dengan membuat hastag #KitaBangsaTempe. Tempe yang awalnya dianggap makanan kelas dua menjadi sesuatu yang keren, sedangkan orang luar negeri menganggap tempe sebagai super food.

"Kita masih harus melakukan edukasi kepada masyarakat bahwa kita punya sesuatu yang keren yang sehari-hari gampang ditemui," ujar Wida. 

Hal senada diungkapkan Harry Harnaz dari Komunitas Jalan Sutra dan Forum Fermentasi Indonesia. Menurut Harry, saat ini ada gerakan untuk membuat tempe menjadi lebih bagus, meskipun kesadaran tersebut hanya baru di kalangan sejumlah generasi muda.

"Ada sejumlah generasi muda yang melihat tempe sebagai makanan khas Indonesia yang bisa dipopulerkan di level global. Tempe sebagai vegan, makanan sehat, makanan yang ngetrend. Ya, ada gerakan seperti itu. Saya kira perkembangannya cukup baik saat ini," ujar Harry kepada Liputan6.com.

Ke depan, Harry mengatakan tempe bisa berpotensi menjadi makanan ekspor. Jika orang Indonesia bisa makan keju dari Prancis, kata Harry, mengapa orang Prancis tak bisa makan tempe dari Indonesia. Lewat Forum Fermentasi Nusantara, Harry dan rekan-rekannya untuk berjuang ke arah sana.

"Saat ini tempe masih berada di level makanan murah, kita tidak menganggap tempe sebagai suatu harta terpendam, tapi sebagai makanan darurat. Padahal, tempe berprotein tinggi, vegan, sehat mengandung vitamin B-12.  Jadi, persoalan tempe itu juga karena adanya persepsi dari masyarakat Indonesia tersendiri," tegasnya.

 

 

3 dari 3 halaman

Cara Aman Pesan Makanan via Online dari Covid-19