Liputan6.com, Jakarta - Gagasan mengotak-ngotakkan pekerjaan berdasarkan gender sudah semestinya ditinggal jauh-jauh. Dalam gebrakannya, seorang pengusaha perempuan bernama Anisa Azizah pun berkontribusi dalam "gerakan kolektif" ini. Ia berdaya di bawah bendera Tech Prom Lab.
"Tech Prom Lab didirikan pada tahun 2018 oleh empat orang founders dari Laboratorium Pemrosesan Material Maju, Teknik Fisika ITB, di bawah bimbingan Prof. Bambang Sunendar. Kami memiliki visi untuk mengimplementasikan hasil-hasil riset di lab," katanya melalui pesan pada Liputan6.com, Kamis, 28 Januari 2021.
Sebagai langkah awal, pihaknya telah merilis produk beton berpori untuk dikomersilkan. "Tahun 2018 kami fokus pada pengembangan riset, bagaimana caranya agar penelitian lab ini bisa diproduksi oleh industri. Pada tahun 2019, kami resmi mulai menjual PoreBlock pada masyarakat umum," sambung salah satu pemenang hibah modal usaha Diplomat Success Challenge (DSC) 2020 itu.
Advertisement
Baca Juga
Soal jadi pengusaha perempuan yang terjun ke bidang konstruksi, Anisa mengatakan, karena posisi awal bisnisnya lebih mengarah ke research-based start-up, praktiknya tak begitu maskulin, relatif dibanding industri konstruksi.
"Namun, memang sih ketika mulai semakin dalam masuk ke industri ini terasa perbedaan-perbedaanya," tuturnya. "Pernah suatu kali saya diberi masukan, 'Nanti kalau sudah mau tawar-menawar project, coba sama tim mbak yang laki-laki ya'."
"Ternyata anggapannya kalau tawar-menawar di industri ini lebih enak kalau pendekatan sesama gender (laki-laki dengan laki-laki)," tutur pengusaha perempuan itu. Pengalaman ini pun memberi kesan bahwa perempuan masih dipandang sebelah mata di industri konstruksi, tapi bukan berarti kasusnya selalu begitu.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Beralih ke Bahan Bangunan Lebih Berkelanjutan
Anisa bercerita, tak jarang karena dirinya perempuan dan masih relatif muda, ia malah sering dibantu para pemain industri konstruksi. "Banyak yang menyatakan salut dengan usaha kami yang mengembangkan produk hasil riset dan ingin mengkomersilkannya," ungkap Anisa.
Produk beton berpori yang tadi sempat disinggung ini dijual dalam bentuk paving block. Yang berbeda, bahan bangunan ini lebih berkelanjutan dan bisa membantu mencegah banjir.
"Nah, salah satu bahan bakunya (paving block) adalah limbah batu bara. Karena berpori, paving block ini bisa meresapkan air, sehingga kalau hujan, air tidak menggenang, di mana dalam skala besar bisa menyebabkan banjir," papar Anisa.
Setidaknya ada dua alasan publik harus mulai beralih ke bahan bangunan lebih berkelanjutan. Pertama, konstruksi jadi salah satu penyumbang produk domestik bruto (PDB) terbesar di Indonesia. Ini menunjukan bahwa pembangunan giat dilakukan di mana-mana.
"Saat ini sudah sering terjadi bencana terkait bahan bangunan yang kita pilih. Misal, betonisasi di perkotaan yang menghalangi air masuk ke dalam tanah sehingga menyebabkan banjir dan mengurangi cadangan air tanah," tutur Anisa.
Dari dua pernyataan di atas, sambung Anisa, apabila pembangunan tetap dilakukan dengan cara-cara konvensional, bencana akan semakin sering terjadi. "Oleh karena itu, kita bisa mencegah bencana dan merawat Bumi dengan menggunakan bahan bangunan yang lebih berkelanjutan," imbuhnya.
Tips memilih bahan bahan berkelanjutan, menurut Anisa, bisa dimulai dari mencari sumber lokal agar jejak karbon akibat transportasi produk bisa dikurangi. Kemudian, sebisa mungkin meniru alam, misal, beton tapi seperti tanah yang bisa meresapkan air. Terakhir, secukupnya, yakni jangan berlebihan dalam membangun.
Advertisement