Sukses

6 Fakta Menarik tentang Cirebon, Kota Udang di Jalur Pantura

Ada salah satu kesenian khas di Cirebon yang kerap disangkutkan dengan mistis. Tapi, sejarahnya dulu justru untuk mengelabui Belanda.

Liputan6.com, Jakarta - Cirebon adalah salah satu kota yang berada di Jawa Barat. Letaknya di pinggir pantai utara Jawa dan terkenal sebagai Kota Udang.

Sebutan itu berasal dari etimologi Cirebon yang merupakan singkatan dari dua kata, "Ci" dan "Rebon". Dalam bahasa Sunda, ci atau cai berarti air, sedangan rebon berarti udang.

Namun, ada juga yang menyebut Cirebon berasal dari kata "Caruban" yang berati "campuran" atau "bersatu padu". Alasannya karena masyararakat Cirebon terdiri dari berbagai macam suku, seperti dari Jawa, Melayu, Sunda, China, dan Arab.  Melansir dari berbagai sumber, Senin (2/1/2021), berikut fakta-fakta menarik tentang Cirebon yang perlu untuk diketahui. 

1. Tempat Penyebaran Islam

Selain dijuluki Kota Udang, Cirebon juga dijuluki sebagai kota para wali karena tempat penyebaran Islam yang dibawa oleh salah seorang dari Wali Songo. Sosok penyebar Islam di sana bernama Fatahillah atau Syekh Syarif Hidayatullah yang lebih dikenal sebagai Sunan Gunung Jati.

Pada masa Sunan Gunung Jati peradaban Islam di Cirebon mencapai masa kejayaannya. Bukti-bukti kejayaan Syarif Hidayatullah di Cirebon, selain terlihat dari sisi keagamaannya, yaitu yang bersifat rohaniah seperti penyebaran Islam, juga dapat dilihat pada perkembangan bangunan fisiknya, seperti masjid dan keraton yang saat ini berada di Kasepuhan.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 7 halaman

2. Tiga Keraton

Banyak orang hanya mengenal dua keraton yang berada di Cirebon, yaitu Keraton Kasepuhan dan Keraton Kanoman. Sejarah mencatat, sebenarnya di Cirebon terdapat satu lagi keraton yang cukup berpengaruh, yaitu Keraton Kacirebonan.

Keraton Kasepuhan disebut-sebut sebagai pusat pemerintahan pada zaman dahulu yang kemudian dipecah menjadi beberapa bagian. Sementara, Keraton Kanoman identik dengan warna putih di setiap bangunannya. Sedangkan, bentuk arsitektur Keraton Kacirebonan tidak jauh berbeda dengan Keraton Kanoman.

Saat ini, Keraton Kacirebonan hanya dijadikan tempat singgahnya para keturunan raja-raja tempo dulu. Keraton Kanoman ini menjadi tempat khusus bagi orang-orang yang ingin belajar ilmu agama seperti yang ada pada pondok pesantren di tanah air.

Keraton Kasepuhan merupakan keraton terbesar di Kota Cirebon. Seperti diungkapkan Dini Rosmalia dalam penelitiannya berjudul 'Pola Ruang Lanskap Keraton Kasepuhan Cirebon', tata ruang kompleks Keraton Kasepuhan terbagi menjadi dua bagian, yang dibatasi oleh dinding kuta atau bata bagian luar dan bagian dalam kompleks.

Bagian luar kompleks keraton terdapat Masjid Sang Cipta Rasa, alun-alun, bangunan Pancaratna dan Pancaniti. Sementara, bagian dalam kompleks keraton yang berada di dalam dinding kuta terbagi dalam empat zona. Setiap zona dibatasi oleh dinding dan pintu.

Zona pertama, sebagai area publik, untuk masuk area ini harus melewati jembatan (kreteg) dan gerbang Pangrawit. Zona kedua sebagai area transisi dimasuki melalui pintu/regol Penggada. Zona ketiga, zona semi privasi, sebagai tempat Sultan bekerja dan menerima tamu. Zona terakhir, merupakan area privat, tempat tinggal Sultan dan keluarganya. Area ini hanya boleh dimasuki oleh orang-orang tertentu.

3 dari 7 halaman

3. Masjid Sang Cipta Rasa

Seperti disebutkan pada poin dua, Masjid Agung Sang Cipta Rasa berada di bagian luar Keraton Kasepuhan. Masjid agung ini dibangun pada 1498 oleh Wali Sanga atas prakarsa Sunan Gunung Jati. Pambangunannya dipimpin oleh Sunan Kalijaga dengan arsitek Raden Sepat dari Majapahit bersama dengan 200 orang pembantunya dari Demak.

Masjid ini dinamai Sang Cipta Rasa karena merupakan pengejawantahan dari rasa dan kepercayaan. Penduduk Cirebon pada masa itu juga menamainya Masjid Pakungwati karena terletak dalam komplek Keraton Pakungwati. Sekarang, masjid ini terletak di depan Keraton Kesepuhan.

Masjid Sang Cipta Rasa memiliki makna bangunan yang agung yang sengaja dibangun untuk digunakan untuk beribadah. Hal ini tercermin dalam tiga kata yang mewakili nama masjid, yaitu Sang yang berarti keagungan, Cipta yang bermakna dibangun, dan Rasa yang berarti digunakan.

Jika diperhatikan, gaya arsitektur masjid mengambil perpaduan gaya Jawa dan Hindu Majapahit. Hal ini bisa dilihat dari gapura di bagian halaman masjid yang biasa terdapat pada bangunan pura, sedangkan seramb dan atap masjid menyerupai rumah joglo, yaitu rumah adat masyarakat Jawa.

Awalnya, masjid ini dibangun dengan 12 tiang penyangga atau saka guru yang terbuat dari kayu jati. Karena faktor usia, kayu penyangga ditopang dengan tiang-tiang yang terbuat dari besi serta menambahkan 18 penyangga baru saat pemugaran yang dilakukan pada 1977.

Keistimewaan lain, masjid ini mempunyai  sembilan pintu sebagai jalan masuknya. Satu pintu utama dan delapan di sisi kanan dan kiri. Pintu utama masjid yang berukuran 240 cm hanya dibuka pada saat salat Jumat dan hari besar Islam lainnya, seperti Maulid Nabi, salat Idul Fitri, dan Idul Adha, sedangkan pintu di bagian samping dibuat lebih rendah dengan ukuran 160 cm ssbagai simbol penghormatan dan merendahkan diri saat memasuki masjid. 

 

4 dari 7 halaman

4. Makam Sunan Gunung Jati

Bicara Cirebon kurang lengkap tanpa membahas kompleks pemakaman Sunan Gunung Jati. Lokasi ini ramai dikunjungi peziarah maupun wisatawan dari berbagai kota di Indonesia. Lokasinya terletak di Desa Astana,Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat.

Peranan Sunan Gunung Jati dalam menyebarkan ajaran Islam di tanah Cirebon menjadikannya sebagai tokoh sentral yang dikultuskan sebagian besar masyarakat Cirebon. Di kompleks pemakaman ini tak hanya terdapat makam Sunan Gunung Jati, tapi juga menjadi tempat peristirahatan terakhir para sesepuh pendiri Cirebon.

Makam Sunan Gunung Jati terletak di tingkat sembilan dengan sembilan pintu gerbang. Kesembilan pintu gerbang itu memiliki nama masing-masing, yaitu Pintu Gapura, Pintu Krapyak, Pintu Pasujudan, Pintu Ratnakomala, Pintu Jinem, Pintu Rararog, Pintu Kaca, Pintu Bacem, dan Pintu Teratai yaitu pintu untuk menuju ke area makam Sunan Gunung Jati.

Kompleks pemakaman ini memiliki acara harian hingga tahunan. Acara tahunan menjadi kegiatan yang paling ditunggu-tunggu para peziarah dan menjadi salah satu daya tarik wisata.

Adapun kegiatan tahunan makam Sunan Gunung Jati, seperti Maulid Nabi Muhammad SAW, Syabanan (sedekah bumi), Syawal, berupa sunatan santunan anak yatim, fakir miskin, dan duafa, dan 21 setiap Ramadan pencucian benda-benda peninggalan. Jumlah pengunjung umumnya meningkat saat Ramadan, Idul Fitri, maulid, dan hari besar Islam lainnya. 

 

5 dari 7 halaman

5. Tari Sintren

Selain sebagai memiliki berbagai cerita tentang penyebaran Islam, Cirebon juga memiliki tarian yang cukup terkenal, yaitu tari sintren.  Tarian ini sangat unik karena terselip unsur mistis lewat pelaksanaan ritual memanggil roh atau arwah.

Dikutip dari Cirebonkota.go.id, Senin, 1 Februari 2021, asal mula nama sintren salah satunya berasal dari kata sindir (bahasa Indonesia : sindir) dan tetaren (bahasa Indonesia : pertanyaan melalui syair-syair yang perlu dipikirkan jawabannya) maksudnya adalah menyindir dengan menggunakan sajak-sajak atau syair-syair.  

Tarian ini awalnya merupakan sebuah kesenian sajak masyarakat Pantura Cirebon dan Indramayu untuk mengelabui tentara Belanda. Alasannya, zaman penjajahan segala bentuk kesenian yang menampilkan sisi perjuangan seperti syair maupun sajak sangat dilarang.

Pemerintah Belanda hanya mengizinkan kesenian yang tidak mengandung unsur perjuangan. Mereka akhirnya sepakat untuk mengelabui tentara Belanda dengan tetap melantunkan sajak perjuangan melalui bahasa daerah. Bahasa yang digunakan saat itu tidak dipahami Belanda dan menggunakan perempuan sebagai sisi sarkastik melawan penjajah.

Di luar soal era kolonial, tari sintren berawal dari kisah Sulandono sebagai putra Ki Bahurekso Bupati Kendal yang pertama, hasil perkawinannya dengan Dewi Rantamsari yang dijuluki Dewi Lanjar. Raden Sulandono memadu kasih dengan Sulasih seorang putri dari Desa Kalisalak. Namun, hubungan asmara tersebut tidak direstui Ki Bahurekso hingga akhirnya R. Sulandono pergi bertapa dan Sulasih memilih menjadi penari.

6 dari 7 halaman

6. Nasi Jamblang

Nasi ini terbilang unik karena dibungkus dengan daun jati. Nama itu berasal dari tempat pertama kali nasi jamblang dibuat, yakni Desa Jamblang. Nasi ini  muncul bersamaan dengan tindak kerja paksa pembuatan jalan raya Trans Jawa pada masa Belanda. 

Proses pembangunan jalan Trans Jawa (Anyer-Panarukan) tersebut melibatkan ribuan rakyat Cirebon. Mereka mencari cara agar nasi yang dibekal tidak cepat basi. Akhirnya ditemukanlah solusi untuk membungkus nasi dengan godong (daun) jati karena memiliki banyak pori-pori dan serat. Sejak itu, orang-orang menggunakan daun jati sebagai pembungkus nasi jamblang.

Ukuran nasi jamblang hanya sekitar sekepal tangan. Tetapi, lauk pendampingnya sangat beragam, mirip di warung tegal, seperti tempe, satai telur, tongkol balado, dan lain-lain.

 

Nasi jamblang mudah ditemui di berbagai tempat di Cirebon. Khusus di Jakarta, nasi jamblang bisa diperoleh di Warung Nasi Jamblang di Meruya, Jakarta Barat. Mereka yang berada di Jakarta Timur bisa membeli nasi jamblang di Nasi Jamblang dan Cumi Hitam Blekutak Dapur Buluk di kawasan Pulo Mas.

 

7 dari 7 halaman

5 Tips Liburan Aman Saat Pandemi