Liputan6.com, Jakarta - Indonesia telah mencatatkan nahas sederet bencana pada awal 2021. Termasuk di dalam daftar tersebut adalah longsor di Dusun Bojong Kondang, Desa Cihanjuang, Kecamatan Cimanggung, Kabupaten Sumedang, Sabtu, 9 Januari 2021.
Pascabencana, Ketua Bandung Mitigasi Hub, Aria Mariany, pun membuat riset tentang pengetahuan warga setempat soal risiko bencana di wilayah tinggal mereka. "Pengumpulan datanya melalui wawancara online maupun offline dengan menitip pertanyaan pada relawan di lapangan," katanya dalam Focus Grup Discussion (FGD) "Tanah Longsor di Sumedang" secara virtual, Rabu, 3 Februari 2021.
Informan terdiri dari tiga stakeholder, yakni pemerintah, masyarakat, dan akademisi. Berdasarkan riset itu, temuan sementara menunjukkan, masyarakat belum mengetahui potensi bencana longsor. Sementara, salah satu responden memiliki latar belakang pendidikan dan pekerjaan yang sebenarnya bisa jadi citizen science.
Advertisement
Baca Juga
Sosialisasi kesiapsiagaan bencana pun belum pernah dilakukan, hanya obrolan dari warga ke warga, mengingat kejadian serupa pernah terjadi di dekat lokasi bencana awal bulan lalu. Juga, tak ada peringatan dini terkait bencana longsor tersebut.
Dalam aspek penataan ruang, tercatat ada perumahan yang dibangun di wilayah rawan longsor. "Makanya dalam kesiapsiagaan bencana, faktor kolaborasi sudah seharusnya didorong," katanya menyimpulkan berdasarkan temuan-temuan di lapangan.
Jalinan kerja sama ini didorong terjadi antara tiga stakeholder di atas. Pemerintah bisa membantu dalam menetapkan regulasi di daerah rawan bencana, termasuk longsor. "Langkah-langkah yang diambil sebagai bentuk kesiapsiagaan bencana juga harus melibatkan masyarakat sedari awal," ucap Aria.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Penanggulangan Pascabencana
Aria menyambung, dalam wawancaranya, masyarakat setempat menganggap pengetahuan kebencanaan penting, tapi tak mendesak. "Ini terdorong oleh kebutuhan primer lain yang harus dipenuhi," ungkapnya.
"Karena sudah pernah ada kejadian (dekat lokasi longsor pada 9 Januari), masyarakat tahu bahwa daerah mereka rawan (bencana). Tapi, mereka terbilang masih memiliki pengetahuan yang rendah akan ancaman itu," sambung Aria.
Dari data tersebut, Aria mengusulkan, akademisi bisa menyosialisasikan ancaman bencana di masa mendatang. Kemudian, fakta lapangan perihal sosial dan budaya dari masyarakat bisa dikomunikasikan dengan peneliti sebagai bahan pertimbangan.
Kendati demikian, biasanya ada jarak antara akademisi dengan masyarakarat. Ini terkait cara komunikasi dan bahasa yang digunakan. Karenanya, Aria menyebut, di sinilah peran lurah, kepala desa, maupun tokoh masyarakat sebagai jembatan penyambung.
"Atau memanfaatkan citizen science seperti yang ditemukan di Cimanggung," imbuhnya.
Pakar longsor Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Ir. Teuku Faisal Fathani, sepakat bahwa kajian sosial budaya tak kalah penting dengan kajian teknis dalam penanggulangan bencana. "Ada baiknya untuk fase pascabencana ini melibatkan masyarakat secara aktif berpartisipasi," katanya.
Dengan begitu, masyarakat akan lebih paham tentang situasi dan kondisi daerah tempat tinggal mereka. Juga, bisa memahami kearifan lokal yang jadi pertimbangan dalam tahap ini. Kemudian, memberi alternatif solusi dan membiarkan masyarakat memilihnya secara demokratis.
"Perlu juga buka akses layanan yang dibutuhkan masyarakat secara luas dan terjangkau. Kemudian, berikan ruang dan kesempatan pada masyarakat terdampak untuk bangkit sesuai potensi dan kemampuannya secara baik," ia menjelaskan.
Soal penyuluhan risiko bencana, Faisal punya ide untuk menaruh poin-poin penting dalam bentuk kalender yang akan digantung di rumah. "Jadi, materinya tidak dikasih hari ini dan dibuang besoknya," ucapnya.
Advertisement