Sukses

Suami Istri di China Buru-Buru Gugat Cerai karena Undang-Undang Baru

Undang-Undang baru mendorong pasangan suami istri di China bergegas untuk segera bercerai, ada apa?

Liputan6.com, Jakarta - Ada beragam alasan di balik sebuah perpisahan, tak terkecuali dalam pernikahan. Seperti undang-undang baru di China yang mempersulit pasangan untuk bercerai justru mendorong suami istri buru-buru mengajukan gugatan cerai.

Dilansir dari laman South China Morning Post, Selasa (16/2/2021), menurut Undang-Undang yang diterapkan pada 1 Januari usai disahkan oleh Kongres Rakyat Nasional tahun lalu, pasangan yang sepakat bercerai harus menyelesaikan periode "tenang" selama sebulan. Hal ini dilakukan agar pasangan mempertimbangkan kembali posisi mereka.

Usai 30 hari, pasangan dapat ke biro urusan sipil setempat untuk mengajukan permohonan kedua kalinya untuk dokumen resmi perceraian mereka. Pengacara perceraian akhirnya dibanjiri permintaan dari pasangan untuk mengajukan cerai setelah 30 hari mereka habis.

Di beberapa kota seperti Guangzhou, di provinsi Guangdong, permintaan berkonsultasi dengan pengacara perceraian sangat tinggi. Hal tersebut membuat calo mengenakan harga premium secara online untuk membantu pasangan mendapatkan janji temu.

Zhong Wen, seorang pengacara yang berbasis di provinsi Sichuan yang berspesialisasi dalam perceraian, menyebut ia telah menerima banyak panggilan telepon dari klien yang khawatir bahwa undang-undang baru tersebut memperumit perceraian mereka dan membahayakan kebebasan mereka untuk berpisah.

Apabila salah satu pihak menarik diri dari perjanjian untuk bercerai sebelum 30 hari berlalu, aplikasi itu dibatalkan, membiarkan pihak lain untuk mengajukan permohonan lagi dan memulai kembali waktu 30 hari, atau untuk menuntut cerai. Itu menjadikan proses perceraian lebih mahal dan panjang.

Zhong mengungkapkan salah seorang kliennya sangat dekat dengan perceraiannya saat suaminya berubah pikiran. Ia menambahkan, bahkan sebelum masa 'tenang' diberlakukan, mudah bagi salah satu pihak untuk perceraian yang disepakati bersama untuk mengubah pikiran mereka. "Nah, dengan masa (30 hari) itu, proses perceraian terlalu sulit ditebak," kata Zhong.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 3 halaman

Dikritik Warga

Saat undang-undang itu disahkan pada Mei tahun lalu, warga China mengkritik pemerintah pusat karena mencampuri urusan pribadi. Lebih dari 600 juta komentar diunggah secara daring dengan tagar "menentang perceraian periode pendinginan".

Para pejabat yakin undang-undang itu akan menurunkan tingkat perceraian di China, yang telah meningkat pesat. Selain itu, undang-undang tersebut juga diyakini mencegah "perceraian impulsif" di kalangan anak muda.

"Kami membutuhkan masa tenang untuk menikah, bukan untuk bercerai," kata seorang komentator populer.

Undang-undang itu sebagai bagian dari Kode Sipil pertama China, yang menggantikan beberapa undang-undang yang ada yang mencakup pernikahan, adopsi, warisan, dan hak milik. Ran Keping, seorang profesor hukum di Wuhan University yang membahas KUH Perdata dengan anggota parlemen sebelum disusun, menyebut pembuat kebijakan tidak senang dengan tingkat perceraian yang tinggi di negara itu.

"Meskipun kebebasan untuk bercerai merupakan hak dasar individu, namun dari sudut pandang kemasyarakatan, angka perceraian yang tinggi akan mempengaruhi stabilitas (negara)," katanya.

Undang-undang baru tidak berlaku jika pasangan mengajukan gugatan cerai dengan alasan mereka adalah korban kekerasan dalam rumah tangga. Namun, Zhong menyebut undang-undang itu masih akan merugikan perempuan, terutama mereka yang tidak memiliki sumber pendapatan independen.

"Pria dapat memutuskan apakah mereka ingin menceraikan atau mencabut proposal mereka. Jika seorang perempuan ingin dan pria tidak, perempuan lalu harus menuntut, menyewa pengacara dengan biaya pribadi dan finansial yang besar. Banyak perempuan, terutama ibu rumah tangga penuh waktu, tidak dalam posisi untuk melakukan ini," kata Zhong.

3 dari 3 halaman

Perceraian di Indonesia