Sukses

Produksi Pangan Jadi Pendorong Utama Hilangnya Keanekaragaman Hayati

Hanya 55% dari kalori pangan dari tumbuhan di dunia yang dikonsumsi secara langsung.

Liputan6.com, Jakarta -  Menurut sebuah laporan terbaru, sistem pangan global kita yang sekarang, merupakan pendorong utama hilangnya keanekaragaman hayati, yang akan terus meningkat kecuali kita mampu mengubah cara kita memproduksi makanan yang kita konsumsi.

Laporan yang diterbitkan oleh Chatham House dalam kemitraan dengan Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) dan Compassion in World Farming — menyatakan bahwa dengan mengalihkan sistem pola pangan global ke arah pola makan berbasis nabati dan lebih sedikit produk hewani dalam sistem tersebut maka akan mengurangi kerusakan terhadap lingkungan.

Laporan tersebut mengungkapkan kalau industri agrikultur saat ini- merupakan ancaman bagi 24.000 dari 28.000 (atau 86%) spesies- yang terancam punah.

“Hilangnya keanekaragaman hayati semakin cepat terjadi di seluruh dunia. Tingkat global kepunahan spesies pada saat ini lebih tinggi daripada yang terjadi jika dibandingkan dengan rata-rata dalam 10 juta tahun terakhir." Selain itu, sistem pangan global merupakan pendorong utama perubahan iklim, dimana hal tersebut menyumbang sekitar 30% dari total emisi antropogenik (emisi yang diproduksi oleh manusia).

“Sebagian besar lahan yang didedikasikan untuk industri agrikultur, digunakan untuk memberi makan hewan yang kemudian digunakan untuk memberi makan manusia- dan hal itu merupakan sistem yang tidak efisien,” ungkap, Annabela Project Manager 21 Hari Vegan, LSM yang bergerak untuk mempromosikan pilihan makanan yang lebih berwelas asih dan berkelanjutan di Asia Tenggara.

Sebidang tanah yang dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan 100 gram protein nabati hanya dapat menghasilkan 4 gram protein dalam bentuk daging sapi. Di Amerika Serikat saja, 390 juta orang lainnya dapat diberi makan dengan berbagai gandum dan biji-bijian, yang saat ini diberikan untuk ternak.

Oleh karena itu, menghilangkan hewan sebagai perantara dari sistem pangan kita akan membutuhkan produksi tanaman yang tidak terlalu intensif secara global, yang dapat mengurangi “tekanan” pada ekosistem utama kita. Namun, sebaliknya, hanya 55% dari kalori pangan dari tumbuhan di dunia yang dikonsumsi secara langsung.

Begitu pula dengan konsumsi ikan dan hasil laut lainnya juga merusak ekosistem laut. Industri perikanan memanen ribuan miliar ikan dari lautan setiap tahun. Tidak hanya itu, 40% tangkapan laut global merupakan tangkapan “bycatch”— adanya spesies yang tertangkap secara tidak sengaja saat spesies lain (biasanya ikan) ditangkap.

Selain itu, alat tangkap yang ditinggalkan menyumbang hingga 85% sampah di di beberapa bagian lautan. Sayangnya, perluasan budidaya hewan laut di darat yang pesat bukanlah alternatif yang berkelanjutan, karena diperkirakan 460 hingga 1.100 miliar ikan ditangkap di laut setiap tahun hanya untuk memberi makan hewan yang dibesarkan dalam fasilitas tersebut.

“Produk hewani seperti daging, makanan laut, susu dan telur merupakan makanan yang paling tidak berkelanjutan untuk dikonsumsi. Jika kita bisa mengurangi produksinya secara signifikan, lebih sedikit lahan yang akan digunakan untuk bercocok tanam dalam memenuhi produksi industri peternakan, yang berarti akan ada lebih sedikit tekanan terhadap hutan dan ekosistem lainnya. Begitu pula berarti jika semakin banyak kita mengurangi penangkapan ikan, maka semakin sedikit pula lautan kita yang “terkuras," jelas Annabella.

Setiap dari kita dapat membantu menghentikan kerusakan ini dengan beralih ke pola makan berbasis nabati. Sinergia Animal meluncurkan Tantangan 21 Hari Vegan, yang dibuat khusus untuk mendukung para konsumen untuk beralih ke makan yang lebih sehat. Ada tips dan resep harian, serta dukungan dari ahli nutrisi khusus. Pada tahun 2020 saja, lebih dari 13 ribu orang mendaftar.