Sukses

Duet Arsitek ITB Rancang Hunian Sementara yang Lebih Nyaman bagi Korban Bencana

Hunian sementara yang dirancang oleh tim LPPM ITB itu bisa dipindah-pindah dan nantinya juga bisa dijadikan tempat tinggal tetap bagi korban bencana alam.

Liputan6.com, Jakarta - Hunian yang nyaman jadi kebutuhan semua orang, tak terkecuali para korban bencana. Berangkat dari keperluan tersebut, dua arsitek dari Prodi Arsitektur Institut Teknologi Bandung (ITB) merancang hunian sementara (huntara) bagi para korban bencana.

Proyek pertama dibuat untuk korban gempa Mamuju dengan dukungan dana dari Rumah Amal Salman. Hunian dibangun memanfaatkan kombinasi material kayu dan ferrocement, yakni bahan yang terbuat dari semen dan pasir dengan tulangan kawat ram.

Perancangnya adalah Andry Widyowijatnako, salah satu tim ahli dari Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat ITB, bersama Imam Prasetyo. Bangunan yang disebut Huntara Minasa tersebut masih belum memperhitungkan aturan jaga jarak.

"Bangunan ini bisa berfungsi sebagai huntara untuk menggantikan tenda, yang kemudian bisa ditingkatkan jadi huntap (hunian tetap). Huntara ini dapat digunakan untuk semua kondisi pengungsian di lahan kering," kata Andry pada Liputan6.com, Senin, 22 Februari 2021.

Luas bangunan itu adalah 22 meter persegi yang disekat jadi tiga ruang. Satu ruang bersama atau ruang serbaguna seluas 15 meter persegi, satu kamar tidur utama seluas tujuh meter persegi, dan satu mezzanine seluas tujuh meter persegi yang bisa digunakan sebagai ruang tidur anak.

Modul-modul rangka dinding hunian sementara itu bisa dipindahkan ke tempat lain, misalnya dari lokasi pengungsian ke lokasi definitif hunian tetap. Untuk jadi hunian tetap, dinding bangunan tinggal diplester.

"Bisa bertahan puluhan tahun selama atapnya dipelihara agar tidak bocor atau atapnya diganti bila bocor. Tidak ada perawatan khusus, hanya perlu pengecatan bila diperlukan," sambung Andry.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 3 halaman

Sederhana tapi Perlu Modal

Andry menyebut teknologi Huntara Minasa terbilang sangat sederhana dan bisa direplikasi oleh warga. Bahkan, pihaknya sedang menyiapkan modul panduan pendirian bangunan. Hanya saja, biaya pendirian huntara relatif tinggi, mencapai Rp23,5 juta per buah, termasuk biaya mobilisasi.

"Bila ditambah dengan pekerjaan pemlesteran dinding, pemasangan daun pintu dan jendela, pekerjaan pemlesteran lantai, bangunan ini jadi hunian tetap dengan harga Rp40 juta," imbuhnya.

Harga yang relatif mahal itu dinilai sepadan dengan kualitasnya. Ia membandingkan sejumlah huntara yang berbiaya lebih murah biasanya dibuat dengan bahan tidak awet, dindingnya dari triplek atau anyaman bambu, beratap rendah, serta kurangnya nilai estetika bangunan.

"Alternatif huntara atau huntap ini memakai kombinasi antara rangka kayu dengan dinding ferrocement untuk memberikan ketahanan yang sangat baik terhadap gempa," jelasnya.

Bangunan ini, kata Andry, juga dibuat dengan sistem prefabrikasi, yakni rangka dinding kayu dan rangka atap disiapkan di tempat lain kemudian dibawa ke lapangan dan bisa didirikan dengan sangat cepat. Pengungsi sudah bisa menghuni huntara tersebut sementara proses pemlesteran berjalan.

"Dengan demikian, waktu tinggal di tenda yang tidak layak bisa jauh lebih singkat. Jadi, bisa mengurangi risiko sakit dan adanya gangguan mental. Selain itu, harga bangunan per unit bisa jauh lebih murah bila jumlah unit yang dibuat lebih banyak," jelasnya.

3 dari 3 halaman

Bencana Kebakaran Hutan dan Kabut Asap di Indonesia