Liputan6.com, Jakarta - Indonesia masuk ke dalam pengguna internet terbesar di dunia. Berdasarkan data yang dihimpun Humanitarian Forum Indonesia (HFI), Indonesia menjadi pengguna internet terbesar keenam di dunia, sebesar 123 juta pada 2018.
"Selain sebagai pengguna internet terbesar keenam di dunia, sebanyak 80-90 persen lembaga sosial di Indonesia menggunakan platform digital. Sementara, netizen Indonesia disebut sebagai yang paling tidak sopan," ujar Dewan Pengurus Humanitarian Forum Indonesia (HFI), dalam diskusi 'Philanthropy Learning Forum: Etika Filantropi di Era Digital,' Selasa, 9 Maret 2021.
Advertisement
Baca Juga
Besarnya penggunaan Internet, juga berpengaruh terhadap penggunaan donasi digital, terlebih saat pandemi Covid-19. Namun, dalam filantropi tak sekadar persoalan donasi secara finansial, tapi juga ada hal sangat penting, yaitu menyangkut tentang kepercayaan (trust).Â
"Tulang punggung filantropi atau kedermawanan sosial adalah kepercayaan atau trust. Donasi itu akan datang jika ada kepercayaan," ujar Wakil Ketua Badan Pengurus Filantropi Indonesia, Suzanty Sitorus.
Kepercayaan itu juga akan datang jika, misalnya, perilaku dan sikap yang ditampilkan atau dimunculkan oleh pegiat filantropi itu sesuai dengan norma-norma atau tatanan hukum yang berlaku di suatu tempat.
"Kepercayaan itu penting karena tanpa trust tatanan filantropi itu akan akan tergerus dengan ketidakpercayaan hingga akhirnya tidak akan efektif dan tidak akan berkembang," imbuh Suzanty.
**Ibadah Ramadan makin khusyuk dengan ayat-ayat ini.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Persoalan Kompleks
Pandemi Covid-19 menjadi pemicu kampanye digital menjadi lebih masif. Karena aktivitas orang lebih banyak di rumah, termasuk bekerja, konsumsi digital kian meningkat, termasuk penggalangan dana.
Tetapi, persoalan penggalangan dana (fundraising)Â di era digital sangat kompleks. Di dunia digital semuanya serba cepat, bahkan sangat cepat hingga menimbulkan banyak persoalan, seperti cyber bullying, SARA, pornogfrafi, dan lain-lain. Tak terkecuali dengan komentar netizen yang dengki atau julid.
"Pengalaman kami menangani beberapa brand, kita sangat hati-hati dengan komentar dari netizen. Netizen ini bisa mem-bully penerima manfaat, lembaga pengumpul bantuan, donatur, dan sifat bully-annya pun kita tidak bisa menentukan arahnya," ujar CEO Andaf Corporation Digital Agency, Nugraha Andaf.
Selain itu, ada juga eksploitasi kesedihan lewat gambar-gambar, bahkan lebih dari itu. "Kita juga bahkan melihat gambar-gambar calon penerima manfaat yang sedang sakit dan sakitnya cukup parah itu ditampilkan secara gamblang," kata Nugraha.
Di era digital, saat donasi terbuka sangat mudah, selalu saja ada pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk membuat kampanye tanpa seizin penerima manfaat. "Mereka memanfaatkan penerima manfaat yang sedang susah demi kepentingan pribadi. Hal lain adalah tidak menggunakan transparansi penggunaan dana," kata Nugraha.
Advertisement