Sukses

Waspadai 2 Jenis Coronasomnia, Masalah Tidur Paling Umum di Masa Pandemi COVID-19

Coronasomnia merupakan penggabungan kata "coronavirus" dan "insomnia" yang diciptakan untuk menggambarkan bagaimana pandemi telah menyulitkan orang tidur nyenyak.

Liputan6.com, Jakarta - Pandemi COVID-19 telah memorakporandakan hampir setiap sendi kehidupan masyarakat dunia. Termasuk di antara daftar penjangnya adalah terkait kualitas tidur. Masalah tidur ini kemudian diistilahkan sebagai coronasomnia.

Melansir laman The Strait Times, Rabu (17/3/2021), penggabungan kata "coronavirus" dan "insomnia" itu diciptakan untuk menggambarkan bagaimana pandemi telah menyulitkan orang untuk tidur nyenyak.

Dr Seng Kok Han, seorang konsultan psikiater di Nobel Psychological Wellness Center, mengatakan bahwa wajar jika orang khawatir tentang pekerjaan, keamanan finansial, serta kesehatan dan keselamatan diri, juga orang yang mereka cintai selama pandemi.

"Sumber kekhawatiran yang baru ditemukan ini dapat menyebabkan tingkat ketakutan, kecemasan, bahkan depresi yang lebih tinggi, dan itu semua membuat individu terjaga di malam hari," kata Dr Seng, yang mencatat peningkatan 15--20 persen kasus insomnia di kliniknya sejak Mei tahun lalu.

Perubahan rutinitas sehari-hari, ditambah batasan kabur antara kehidupan profesional dan pribadi saat bekerja atau belajar dari rumah, juga menyebabkan banyak orang bekerja dan tidur pada jam-jam tidak teratur.

Misalnya, Dr. Seng memiliki pasien yang tidak dapat tidur di malam hari karena bekerja sampai larut dan sering tidur siang sambil bekerja dari rumah. Kebiasaan ini tercatat mengabadikan "lingkaran setan insomnia."

Dr Pang Yoke Teen, konsultan telinga, hidung, dan tenggorokan senior di Mount Elizabeth Medical Center, mengatakan bahwa ritme sirkadian atau jam tubuh seseorang terganggu ketika jadwal kerja dan tidur berantakan. "Ini dapat memengaruhi peremajaan tidur yang dibutuhkan tubuh untuk memperbaiki diri sendiri," katanya.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 3 halaman

Gangguan Tidur Selain Insomnia

Psikolog Klinis Annabelle Chow dari Annabelle Psychology juga mencatat peningkatan keluhan bertahap dari pasiennya tentang masalah tidur sejak Maret tahun lalu. Ia mengatakan, "Berada di karantina dapat memisahkan orang dari keluarga dan teman, sehingga memicu gejala depresi dan berbagai masalah tidur."

Selain insomnia, gangguan tidur lain yang diamati selama pandemi adalah sindrom fase tidur tertunda, kata Dr Seng. Ini adalah gangguan yang menyebabkan pola tidur seseorang tertunda selama dua jam atau lebih dari pola tidur konvensional.

Salah satu pasien Dr Seng, seorang pelajar berusia 17 tahun, telah tidur lama, tapi masih terbangun dengan rasa lelah keesokan harinya. Ini terjadi ketika remaja tersebut tidak perlu bersekolah dan mulai menunda waktu tidurnya secara bertahap.

Ia menikmati terjaga di malam hari karena lebih tenang. Waktu itu digunakan untuk berselancar di internet maupun bermain gim komputer sampai pukul lima pagi, dan sering bangun sekitar pukul dua atau tiga sore. Ia merasa lelah meski sudah tidur selama 10 jam dan tidak bisa tidur walau lelah.

Para dokter yang diwawancarai mengatakan bahwa tidur yang cukup penting untuk membangun sistem kekebalan tubuh. Kurang tidur dalam waktu lama dapat berdampak buruk pada kesehatan dan menyebabkan kondisi, seperti diabetes, tekanan darah tinggi, penyakit kardiovaskular, kecemasan, dan depresi.

Dr Seng menyarankan, orang yang mengalami insomnia untuk mencari bantuan profesional. Pilihan pengobatannya termasuk terapi perilaku kognitif dan resep pil tidur.

3 dari 3 halaman

4 Tips Jaga Kesehatan Mental Saat Pandemi COVID-19