Liputan6.com, Jakarta - Apakah generasi Z selama ini hidup di balik stereotip? Anda dan banyak orang lain boleh jadi sudah mendengar asumsi demi asumsi tentang generasi satu ini. Kebanyakan mitos yang beredar acap kali bernada negatif.
Berangkat dari situ, Hakuhodo Institute of Life and Living ASEAN (HILL ASEAN) mengklasifikasikan tiga kategori, mulai dari nilai kehidupan, prioritas hubungan, sampai faktor kebahagiaan demi menguak tabir kepribadian generasi yang lahir pada 1997--2012 tersebut.
Terkait tiga pengelompokan itu, generasi Z mitosnya mengutamakan diri sendiri, mereka apatis, dan tidak peduli pada komunitas. Kemudian, generasi Z juga dianggap sangat kompleks dan ekstrem. Mereka pun diasumsikan sangat tergantung pada media sosial. Lantas, benarkah demikian?
Advertisement
Baca Juga
Bertajuk "Now you Z me: Debunking myths about ASEAN's Generation Z" HILL ASEAN merilis studi tentang kehidupan generasi Z di enam negara, yakni Indonesia, Vietnam, Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina.
Institute Director Hakuhodo Institute of Life and Living (HILL ASEAN), Devi Attamimi, menjabarkan bahwa studi tersebut menggunakan metode survei daring dan wawancara grup secara berkala yang masing-masing diikuti 4,5 ribu responden dan 54 responden.
"Pertama, soal nilai kehidupan. Mitosnya gen Z ini cenderung apatis, tapi temuan studi kami malah menunjukkan bahwa 55 persen responden Indonesia dan 48 persen untuk ASEAN punya hubungan seperti teman dengan orangtua," ucapnya dalam jumpa pers virtual, Kamis, 8 April 2021.
Generasi X yang mayoritas merupakan orangtua generasi Z dikatakan mendorong anak-anak mereka untuk mempertanyakan banyak hal, membentuk argumentasi, dan punya pandangan pribadi. "Ini membuat gen ZÂ punya pola pikir lebih kritis," ucapnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Bentukan Keharmonisan
Bersamaan dengan itu, 68 responden generasi Z asal Indonesia juga sekaligus didorong untuk mengikuti tradisi dan norma sosial. Berkaca pada nilai kehidupan ini, 73 persen responden Indonesia dan 68 persen ASEAN menyebut bahwa "sukses adalah membuat keluarga dan teman-teman bangga."
Indikasi ini bukan berarti mereka melupakan kebahagiaan pribadi. Generasi Z justru ditemukan lebih cekatan dalam mengaplikasikan prinsip "happy you, happy me."
"90 persen responden Indonesia menyebut bahwa hidup adalah tentang memenuhi tanggung jawab yang dibarengi dengan menyayangi diri sendiri di persentase 88 persen," Devi menjelaskan.
Ketika diminta membuat pie chart, generasi Z cenderung menekankan bahwa kondisi kesehatan mental yang baik merupakan indikator hidup ideal bagi mereka. "Persentasenya (kesehatan mental) lebih besar dari stabilitas keuangan," kata Devi.
Advertisement
Mitos Ketergantungan pada Media Sosial
Generasi Z nyaring disebut sebagai social media native, hingga akhirnya melahirkan asumsi bahwa mereka sangat bergantung pada jejaring sosial dalam keseharian. Dalam studi, Devi menjelaskan, generasi ini justru punya aturan dan pengotak-ngotakan tertentu dalam menggunakan media sosial.
"Jadi, beda aplikasi, beda aturan," ucapnya.
Facebook umumnya digunakan generasi Z untuk mencari informasi, baik berita nasional maupun global. Kemudian, Instagram adalah tempat mereka "ingin dilihat."
Twitter merupakan medium generasi Z untuk didengar secara real time. Terakhir, TikTok dimanfaatkan untuk hiburan. 79 persen responden Indonesia dan 82 persen untuk ASEAN mengaku sangat sadar tentang karakter diri mereka saat mengunggah sesuatu di media sosial.
"64 persen responden Indonesia dan 68 persen responden ASEAN mengaku ingin menunjukkan natural-self mereka di media sosial. Jadi, tidak suka berpura-pura," ucap Devi. "Sementara itu, mereka juga suka memisahkan citra pribadi dan profesional di media sosial. Makanya, generasi Z cenderung punya lebih dari satu akun (media sosial)."
Infografis Survei Milenial di Penjuru Dunia
Advertisement