Liputan6.com, Jakarta - Apa yang tebersit di benak ketika bicara soal makanan? Tak melulu lezat, nikmat, nan mengenyangkan, makna makanan jauh lebih dalam dari itu. Hal ini pula yang turut diselami lewat gastronomi, sebuah ilmu yang mengulas makanan yang punya berjuta cerita.
"Ada sejarah panjang sampai akhirnya terhidang di meja makan karena makanan itu punya cerita, sejarah, budaya, filosofi dan punya kebanggaan lokal dari suatu daerah," kata Ria Musiawan selaku Ketua Umum Indonesian Gastronomy Community (IGC) atau Komunitas Pencinta Gastronomi Indonesia di Megamendung, Bogor, Jawa Barat, baru-baru ini.
Advertisement
Baca Juga
Ria melanjutkan, kuliner dan gastronomi adalah dua hal yang berbeda. "Gastronomi adalah ilmu tentang makanan. Ada juga yang menyebut the art of good eating, seni makanan baik. Gastronomi itu si penikmat, pencinta makanan, sedangkan culinary adalah yang memasak, ilmu memasaknya kayak chef, itu kuliner," tambah Ria
"Banyak juga orang bilang kalau ke suatu daerah, 'ayo kulineran', sebenarnya yang dimaksud mereka mencicipi makanan, bukan untuk memasak. Jadi sebenarnya harusnya disebut wisata gastronomi. Tapi karena kuliner sudah terlanjur dikenal luas, dan semua orang menggunakan culinary itu sebagai bentuk untuk ekspresi sebuah makanan, kita juga enggak bisa melarangnya," ungkap Ria.
Kendati demikian, pihaknya tetap menekankan agar lebih banyak orang mengetahui bahwa ternyata kuliner dan gastronomi berbeda. IGC sendiri merupakan sebuah komunitas pecinta gastronomi Indonesia, yang salah satu visinya adalah melestarikan makanan Indonesia.
Komunitas Pencinta Gastronomi Indonesia pada 4 April lalu telah melangsungkan event bertajuk Gastronosia. "Kita merekonstruksi kembali makanan-makanan di zaman abad 8 dan 10 Masehi dari relief-relief yang ada di Candi Borobudur," lanjut Ria.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Merekonstruksi Makanan Abad 8 dan 10 Masehi
IGC bersama para ahli, yakni arkeolog, balai konservasi, dan guru-guru besar di Universitas Gadjah Mada (UGM), mencoba mengangkat kembali makanan-makanan tersebut. Hal tersebut bertujuan untuk mempelajari bahwa makanan sejak dahulu bukan hanya sebagai pengenyang perut, tapi ada nilai gizinya.
"Kita sudah berhasil merekonstruksi 104 jenis makanan melalui relief-relief itu, tapi kemarin kita rekonstruksi hanya tiga, yaitu makanan yang terbuat dari daging rusa, daging kerbau, dan ikan belut yang hanya hidup di perairan sekitar Borobudur," jelasnya.
Ria melanjutkan, di relief-relief tersebut pihaknya tidak menemukan resep, namun hanya berupa gambar. "Itu diinterpretasi kembali oleh para ahli. Mereka belum mengenal cabai yang mereka pergunakan itu semacam merica yang disebut cabai jawa kalau dilihat lagi merica dengan ukuran lebih besar," kata Ria.
Penggunaan merica itu untuk mendapat sensasi pedas. Sedangkan untuk garam, masyarakat kala itu masih harus mengambil dari daerah lain. "Dahulu itu sudah ada perdagangan. Itu merefleksikan di abad 8 sudah ada perdagangan, jual beli melalui perairan," ia menjelaskan.
Advertisement