Sukses

Heboh Rumah Menlu Pertama Indonesia Dijual, Sederet Kediaman Pejabat yang Lebih Dulu Disulap Jadi Museum

Rumah Menlu Pertama Indonesia, Achmad Soebardjo, di kawasan Cikini, Jakarta Pusat itu dijual seharga Rp200 miliar.

Liputan6.com, Jakarta - Dibanderol Rp200 miliar, rumah mantan Menteri Luar Negeri (Menlu) Indonesia pertama, Achmad Soebardjo, diiklankan untuk dijual. Berada di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, rumah berarsitektur khas kolonial itu berdiri di atas lahan seluas 2.915 meter persegi dengan luas bangunan 1.676 meter persegi.

Penjualan rumah tersebut kemudian membuat heboh dan disayangkan tidak sedikit orang. Mengingat nilai historisnya, tak sedikit warganet yang menyarankan bangunan tersebut sebaiknya dibeli pemerintah dan disulap jadi museum. "Atau jadi guest house untuk para diplomat," tulis salah satunya.

Sementara rumah yang sempat dikunjungi Menlu Retno Marsudi pada 2016 itu "masih terancam," beberapa kediaman pejabat ini sudah lebih dulu ditransformasi jadi museum. Tidak hanya di Jakarta, namun juga beberapa wilayah lain di Indonesia.

Museum Sasmita Loka Amad Yani

Masih berada di kawasan Jakarta Pusat, kediaman mendiang Letjen Ahmad Yani ini merupakan saksi bisu peristiwa G-30S/PKI. Melansir laman resminya, Rabu (14/4/2021), museum ini diresmikan pada 1 Oktober 1966 oleh Menpangad Mayjen Soeharto, sesaat setelah rumah beserta isinya diserahkan pihak keluarga pada negara.

Selain menyimpan banyak barang pribadi peninggalan Ahmad Yani, museum ini juga memajang foto-foto di antaranya rekonstruksi penembakan dan penculikan terhadap Letjen Ahmad Yani, serta koleksi foto-foto pengangkatan jenazah para Pahlawan Revolusi oleh KKO (Marinir) pada 4 Oktober 1965.

Ada pula potret upacara pemakaman pada 5 Oktober 1965, foto-foto keluarga, penyerahan Kota Magelang pada 1949 dari Belanda diwakili Letkol van Santen pada Letkol Ahmad Yani, dan foto-foto karier militer Ahmad Yani lain di area museum.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 4 halaman

Museum Perumusan Naskah Proklamasi

Menurut laman resminya, bangunan Museum Perumusan Naskah Proklamasi merupakan kediaman Laksamana Tadashi Maeda Kepala Kantor Penghubung Angkatan Laut dengan Angkatan Darat Jepang, sampai Sekutu mendarat di Indonesia September 1945.

Setelah kekalahan Jepang, gedung ini jadi markas tentara Inggris. Pemindahan status kepemilikan gedung ini terjadi dalam aksi nasionalisasi terhadap bangunan milik bangsa asing di Indonesia. Gedung ini diserahkan pada Departemen Keuangan dan pengelolaannya oleh Perusahaan Asuransi Jiwasraya.

Pada 1961, gedung ini dikontrak oleh Kedutaan Besar Inggris sampai 1981. Kemudian, pada 1982 gedung ini sempat digunakan oleh Perpustakaan Nasional sebagai perkantoran.

Hingga pada 1984, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. Dr. Nugroho Notosusanto menginstruksikan pada Direktorat Permuseuman agar merealisasikan gedung bersejarah ini jadi Museum Perumusan Naskah Proklamasi.

Akhirnya berdasarkan surat keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0476/0/1992 tanggal 24 November 1992, gedung di Jalan Imam Bonjol ini ditetapkan sebagai Museum Perumusan Naskah Proklamasi.

3 dari 4 halaman

Museum Jenderal Besar Sudirman

Bergeser ke Yogyakarta, ada Museum Jenderal Besar Sudirman. Mengutip situs web Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, museum ini menempati gedung yang dibangun pada masa pemerintah Hindia Belanda pada 1890.

Mengalami berbagai peralihan fungsi, gedung ini pernah jadi kediaman dinas Jendral Sudirman dan keluarga sejak 18 Desember 1945 sampai 19 Desember 1948, saat ia jadi panglima tertinggi Tentara Keamanan Rakyat (TKR).

Pada tanggal 17 Juni 1968, bangunan ini sempat dipakai untuk Museum Pusat Angkatan Darat, sebelum akhirnya diresmikan sebagai Museum Sasmitaloka Panglima Besar (Pangsar) Jendral Sudirman pada 30 Agustus 1982.

Museum Timah Indonesia

Jadi satu-satunya di Asia, Museum Timah Indonesia menempati rumah dinas Hoofdt Administrateur Banka Tin Winning (BTW) di Jalan Ahmad Yani no. 179 Pangkalpinang, Bangka.

Didirikan pada 1958, menurut laman Kementerian Keuangan, museum ini bertujuan mencatat sejarah pertimahan di Bangka Belitung dan memperkenalkannya pada masyarakat luas. Pendirian museum ini berawal pada tahun 50-an ketika banyak ditemukan benda-benda tradisional yang digunakan penambang zaman dahulu, utamanya era Hindia Belanda.

Museum Timah baru resmi dibuka sekaligus diresmikan pada 2 Agustus 1997. Pada 2010, melihat besarnya jumlah kunjungan wisatawan, renovasi tata letak dilakukan sehingga lebih fokus pada pertambangan. Beragam koleksi materi yang di dalam museum juga ditambah.

4 dari 4 halaman

Infografis Renovasi Rumah Dinas Anies